Sumber Gambar: watatita.wordpress.com/2011/02/08garuda-pancasila- sibuk-bertengger-tetapi-jarang-yang-memperhatikan/ |
“Bagi kita, ra’jat itoe jang oetama, ra’jat
oemoem jang mempoenjai kedaulatan, kekuasaan (Souvereinteit). Karena ra’jat
itoe jantoeng-hati Bangsa. Dan ra’jat itoelah jang mendjadi oekoeran tinggi
rendah deradjat kita. Dengan ra’jat itoe kita akan naik dan dengan ra’jat kita
akan toeroen. Hidoep atau matinya Indonesia Merdeka, semoeanja itoe bergantoeng
kepada semangat ra’jat. Pengandjoer-pengandjoer dan golongan kaoem
terpeladjar baroe ada berarti, kalau dibelakangnja ada ra’jat jang sadar dan
insjaf akan kedaulatan dirinja” (Bung Hatta, Daulat Ra’jat, 20 September 1931).
Menggali
pemikiran Moehammad Hatta di awal tulisan mengingatkan kembali kita kepada
impian perekonomian rakyat Indonesia yang tertuang dalam pasal 33 UUD 1945
tentang “kesejahteraan sosial”cita -
cita bangsa kita. Didalam ayat (1)-nya
muncul sederet ulasan kata yang menarik perhatian untuk dapat dikupas lebih
dalam, “bersama” dan “asas kekeluargaan”. Kalimat ini menjadi
penting mengingat fakta inilah yang menjadi tujuan bangsa. Landasan segala
pembangunan perekonomian negara kita, perekonomian yang menjadikan rakyat
sebagai titik pusat perputarannya (sub
sentral) bukan kebebasan pasar.
Refleksi perekonomian Indonesia
Didalam
pasal 33 UUD 1945 juga tercermin perekenomian yang ingin diwujudkan oleh para
pembangun negara (founding father) kita bahwa perekonomian indonesia merupakan
ekonomi yang disokong dan dikendalikan bersama oleh rakyat berdasar asas
kekeluargaan. Dengan ini menjadi jelas apa yang harus dilakukan oleh Indonesia
untuk mewujudkan cita – cita tersebut, “fokus pada pembangunan dan pemberdayaan
rakyat” sehingga rakyat mampu mandiri dan mengelola pembangunan bangsanya.
Biarkan mereka berkembang menjadi orang – orang hebat yang mampu mengangkat
derajat bangsa dan negaranya. Maka ketika rakyat telah mampu memutar roda perekonomian
sendiri disaat itulah mereka memiliki kekuataan (power) untuk membangun bangsa. Sehingga pembangunan negara (states) kita bukan pembangunan yang menyingkirkan
rakyat, melainkan pembangunan yang mengikutsertakan mereka disampingnya.
Pembangunan negara adalah derivate pembangunan rakyat
Maka
ketika pemerintah membangun rakyatnya sama artinya dengan membangun negara.
Pembangunan sikap, mental, pikiran, dan segala kebutuhan mereka akan mampu
memberikan kekuatan bagi mereka untuk bersatu dan berkerja sama membangun
bangsa. Sehingga “daulat rakyat” seperti tercantum dalam pasal 1 ayat (2) dapat
terlaksana secara lebih nyata (real)
dan terasa manfaatnya secara langsung. Pembangunan seperti inilah yang menjadi
cita – cita Indonesia, pembangunan negara atas dasar kekeluargaan (brotherhood/ukhuwah) dan kebersamaan (mutualism) yang memajukan rakyat
sebagai ujung tombaknya hingga mereka berhasil membuat pasar (market) yang ideal dan tak berat
sebelah.
Sebagian
orang setuju dengan pendapat ini dan sebagian lagi malah memandang rendah serta
maju dengan semangat individualsm bersama globalisasi, mereka mengesampingkan
kepentingan bersama dan menjadikan kepentingan individu sebagai prioritas
utama. Pemutaran ujung dan pangkal pembangunan sering kali terjadi, rakyat
tidak lagi menjadi prioritas utama, mereka seakan lebih fokus pada pembangunan
modal (capital). Modal yang masuk seakan
lebih penting dan berarti dibanding kesejahteraan rakyat. Akibatnya nyata,
pembangunan negara ini tak lagi terlihat mengikutsertakan rakyat, mereka rakyat
kecil yang tak mampu menjadi korban penggusuran pembangunan negara. Semangat kapitalisme
kembali mengalahkan kebersamaan kita, para ahli ekonomi negeri seakan tak
memperdulikan kesejahteraan rakyat lagi, maksimumisasi laba (profit) menjadi tujuan utama bukan
manfaat (benefit) untuk kesejahteraan
bersama.
Pembukaan
kesempatan bagi investor asing secara lebar tanpa proses penyaringan juga turut
serta mengambil andil atas pembangunan yang tak berimbang ini, tingkat GDP (gross domestic product) dan GNP (gross national product) negara kita
terus mengalami kesenjangan[1].
Perbandingan (ratio) antar mereka tak
lagi berimbang, GDP yang melibatkan pihak asing malah unggul dan memimpin.
Bukankah ini dapat berarti kelengahan kultural bangsa secara massal? Haruskah
kita rela pembangunan negeri ini diserahkan pada tangan-tangan asing dan
membiarkan rakyat sebagai pemilik sebenarnya menyaksikan pembangunan di pojok
sana? Maka disinilah letak relevansi jelas perbedaan “pembangunan
di Indonesia” dengan “pembangunan
Indonesia” apakah kita menjadi tuan di negeri sendiri atau jongos
globalisasi?[2]
Menjadi
lucu ketika BUMN (badan usaha milik negara) sebagai cabang produksi penting
negara penguasa hajat hidup orang banyak sudah mulai dilirik pihak asing.
Sayang sifat kita yang justru kurang protetktif, “belum ditanya sudah ditawarkan” seakan asset – asset penting
rakyat kita adalah barang yang dengan mudah diperjual belikan. Kasus nyata
penjualan indosat ke perusahaan singapur, indosat sebagai salah satu bentuk
kekuasaan angkasa bangsa kini menjadi milik asing. Kejadian – kejadian seperti
ini harusnya menjadi sentilan keras bagi bangsa kita atas segala kelengahan
yang tengah terjadi.
Lebih
dari itu, ketika kejadian ini berlangsung secara berlarut – larut, globalisasi
masuk dengan bebas dan harga (price)
sudah mulai ditentukan oleh keseimbangan pasar (equilibrium market) bukan lagi keseimbangan rakyat, memicu
timbulnya sesembahan baru bernama “daulat pasar”. [3]Daulat
rakyat yang selama ini kita angkat dan di perjuangkan mulai digeser dan diambil
alih kuasanya oleh pasar. Rakyat mulai kehilangan kekuatan, pasar tak lagi
bersahabat. Mereka yang berada di bawah garis keseimbangan menjadi layak untuk
diabaikan. Ini jelas bentuk pelemahan (disempowerment)
rakyat.
Terlepas
dari itu, negara sejatinya memiliki peran penting untuk lebih hati – hati
menilai perjanjian internasional, dalam arti menyeleksi tingkat globalisasi
yang masuk kedalam bangsanya. Jangan sampai globalisasi justru malah
menyingkirkan rakyat dan menghancurkan keseimbangan yang ada. Negara bukan
malah memberi peluang yang besar untuk kapitalisme masuk bersama globalisasi. Seperti
pelaksanaan “asas konkordansi”[4]
dan aturan peralihan pasal II UUD 1945 [5]sebagai
derivate hukum belanda yang menjadi dasar KUHper (kitab undang – undang hukum
perdata) dan KUHD (kitab undang – undang hukum dagang) kita yang seolah membuka
lebar pintu kapitalisme masuk bersama globalisasi, mengapa mereka yang bersifat
“turunan” itu malah justru mendominasi pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar
kesejahteraan sosial. Karena memang globalisasi ibarat pedang bermata dua,
negara harusnya memberikan protektif dan pembelajaran dalam hal menghadapi
globalisasi. Bukan seperti sekarang, masyrakat dan kaum remaja khususnya malah
asyik terbuai dengan globalisasi. “Mereka masih cenderung mengagumi globalisasi
bukan bersiap menghadapinya” Nampak jelas masyrakat kita terjebak di kapsul
pasar (individualism) global yang salah. Mereka salah kaprah
tentang arti globalisasi
Dengan
demikian dapat kita susun masalah bersama, faktanya permasalahan kita fokus
pada sejauh mana globalisasi mempengaruhi pembangunan kita? Sejauh apa
perjanjian internasional turut serta dalam campur tangan pembangunan bangsa
kita? Benarkah globalisasi datang bersama angket – angket liberalism (neoliberalism)? Pengotakan masalah
seperti ini menjadi penting untuk
melihat nyata musuh kita. Jangan sampai lawan berhasil menyurutkan kredibilitas
kita sebagai rakyat pemilik bangsa
Tiga lembaga raksasa
Di
era akhir abad 19 perang dunia ke II
Amerika serikat muncul sebagai negara adidaya yang berhasil berdiri tegap ditengah
segala kekacauan. Eropa, jepang, china dan negara lain mengalami resesi akibat kehilangan emas
dalam perang dan sebab – sebab lain yang menyertainya. Hanya Amerika sebagai
negara pemenang perang yang cukup kuat berdiri dan menjadi tumpuan ekonomi
dunia. Mengambil kesempatan ini, Amerika yang memiliki cadangan emas dunia
lebih dari 50% membuat konfrensi moneter persatuan bangsa – bangsa (PBB) di “Bretton Woods” antara 1 juli 1944 – 22
juli 1944. Pertemuan yang diikuti 44 negara ini akhirnya menetapkan pembentukan
dua lembaga keuangan internasional, IMF (international
monetary fund) badan pemberi pinjaman khusus dan IBRD (international bank for reconstruction development) yang menjadi
cikal bakal beridirnya WB (world bank).
Baru kemudian WTO (world trade
organization) sebagai organisasi yang secara khusus mengatur perdagangan
antar negara dibentuk pada 1 Januari 1995 sebagai pendukung perjanjian Bretton Woods.
Sudah
barang tentu ketiga lembaga ini memiliki peranan masing – masing dalam implementasinya
di dunia internasional. IMF contohnya, sebagai negara pemberi pinjaman dana mereka
juga diwajibkan untuk melakukan pemantauan ekonomi secara khusus dan memberikan
pelatihan pada anggotanya. World Bank sebagai lembaga keuangan internasional
penyimpan dana – dana umum dan WTO selain sebagai badan pengatur regulasi [6](policy) perdagangan antar negara
termasuk didalamnya free trade yang
bersifat global dan mencakup seluruh negara bagian anggotanya juga diwajibkan
membantu para produsen barang (good’s)
dan jasa (service) ekportir, importer
dalam kegiatan perdagangan nantinya. Sekilas lembaga – lembaga ini memang
tampak seperti lembaga internasional biasa.
Indonesia
sendiri mulai terdaftar di ketiga lembaga tersebut setelah pengajuan pinjaman
dana pada 1953, yang kemudian sebagai tindak lanjutnya disahkan dengan “Undang
– undang no. 5 tahun 1954” pada 13 januari 1954. Maka sesuai dengan nama yang
diberikan, IMF memiliki kewajiban memberikan pinjaman [7]dana
pada para anggotanya, termasuk
Indonesia. Indonesia yang pada saat itu terbayang - bayang impian besar
pembangunan infrastruktur seperti pembuatan jalan tol, bendungan, gedung –
gedung mewah, pelabuhan, lapangan pacu pesawat dan berbagai mimpi indah lainnya
termasuk penyediaan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan bagi
rakyatnya, mulai terbawa hasrat peralihan negara agraris ke negara industriliasasi
secara instan, dan sebagai negara yang baru lepas dari penjajahan nekat
melakukan pinjaman dana bank luar dengan
harapan mampu mengembalikan pinjaman dari hasil penjualan SDA (sumber daya alam)
– nya.
Memang
tak bisa dipungkiri, beberapa pembangunan infrastruktur kota besar kita
didukung oleh tiga lembaga besar ini, besarnya pinjaman dana yang diberikan
pada kita membantu pembangunan negara ini secara cepat dan instan, namun ibarat
“gali lubang tutup lubang”
permasalahan ditutup dengan permasalahan. Dengan peminjaman dana secara
berlebih pada IMF Indonesia kembali mengalami resesi dan terlilit hutang dengan
jumlah bunga yang tak sedikit. Menjadi lebih buruk lagi ketika akhirnya Indonesia
menjadi boneka Washington, dengan total kewajiban yang belum kita lunasi mereka
tentu dengan semena – mena merasa memiliki hak untuk turut serta dalam
pengelolaan negara kita. Lihat saja dengan fakta pembuatan undang – undang (regulation) yang memudahkan pihak
mereka masuk untuk mengambil keuntungan dari negeri kita yang kaya akan sumber
daya alam . Mulai nampak tujuan lembaga ini.
Ternyata
Indonesia tak sendiri, banyak negara – negara berkembang lainnya turut megalami
hal serupa. Terlebih ketika United States (US) mengalami inflasi pada 1979,
dimana Paul Volcker sebagai kepala Federal
Reserve mengambil kebijakan financial untuk menaikkan tingkat suku bunga
dan membuat malapetaka bagi negara – negara peminjam pundi dollar[8]. Bunga
hutang Mexico melonjak dengan fantastis, dari 2.3 milliar USD naik menjadi 6.1
milliar USD, hampir tiga kali lipatnya. Harga – harga pangan di negara Afrika pun
tak luput dari santapan kebijakan brutal ini. Barang ekspor utama mereka mulai
rontok di pasar internasional, kondisi ini membuat mereka mustahil mengembalikan bunga dan hutang
yang mereka pinjam. Argentina sebagai salah satu negara penghasil daging waktu
itu juga ikut terkena imbas pelumpuhan barang komoditas di pasar 1980. Harga
daging produksi mereka jatuh dari 2.25/kg 1980 ke level 1.6/kg pada akhir 1981.
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara penalang pundi dolar juga
sudah tentu terkena imbas global ini. Semakin tenggelam bersama bunga dan
lilitan hutang.
Menanggapi
imbas krisis global (global crisis) ini,
pihak US menginisiasi kebiijakan baru. Kebijakan kali ini dipelopori oleh James
Baker, secretary of the treasury Amerika Serikat, yang dikemudian hari lazim
didengar sebagai “Washington consensus” [9]sebagai
standar reformasi bagi negara berkembang. Jelas dan nyata upaya lembaga ini
dalam penyebaran paham liberal serta pelumpuhan wewenang negara. Negara tak
lagi diberikan wewenang penuh untuk mengatur dan memberikan batasan dibidang
ekonomi bagi rakyatnya, segala sesuatu akan dikembalikan dan diatur oleh
mekanisme pasar (market mechanism). Pasar
yang akan menentukan keseimbangan harga dan tingkat bunga. Belum lagi aturan
tentang penjualan asset – asset BUMN pada pihak asing (privatization) yang semakin membuka lebar peluang pengambilan alih
asset kekayaan kita. Hal – hal ini dapat kita artikan sebagai pemberian
wewenang seluas – luasnya kepada pasar untuk berperan dan mendukung sikap
individual dah globalisasi kompetitif untuk terus tumbuh. Pasarlah yang
memiliki hak untuk menentukan segala halnya, hingga orang kembali fokus pada
pemberdayaan modal untuk bersahabat dengan pasar. Daulat pasar memegang kendali
penuh pemerintahan kita.
Dengan
demikian kembali menjadi jelas kondisi yang terjadi di negara kita. Mengapa
daulat pasar dengan kuatnya mengalahkan daulat rakyat. Mengapa pembangunan
modal menjadi lebih penting ketimbang pembangunan rakyat. Mengapa asset – asset
penting kita mulai berpindah tangan ke negara lain, atau mengapa pembangunan
kita seakan tak peduli pada kesejahteraan rakyat bersama?. Maka dengan imbas Washington Consensus, globalization dan free trade WTO dengan prinsip Beggar
Thy-Neighbor[10]-nya
dapat kita simpulkan bersama, gerakan “Neoliberalism sudah mulai merambah
Indonesia”.
Mendesain ulang globalisasi
Dari
pembeberan adagium diatas kita ketahui dasar penyebar Neoliberalisme adalah
IMF, WTO, dan juga World Bank, dengan beberapa agenda pelaksanaan Neoliberal
yang tertuang pada Washington consensus
menjadi titik tolak ukur keberhasilan (goals)
mereka. Maka pantaslah jika tiga lembaga besar ini disebut sebagai The Unholy Trinity[11]. Indonesia lantas tak bisa bisa diam
dan pasrah begitu saja. Diperlukan perbaikan – perbaikan diberbagai lini untuk
memproteksi diri dari paham – paham semacam ini. Perlu diingat bahwa berdasar
pasal 33 UUD 1945 kita adalah penganut paham “kebersamaan”. Pembangunan negeri
ini tak bisa berdasarkan satu atau dua orang saja, keseluruhan sistem rakyat
dan pemerintahlah yang harus ikut serta dalam andil pembangunan bangsa.
Oleh
karenanya dirasa perlu bagi pemerintah untuk mendesain ulang globalisasi, mendesain dalam arti berhati – hati menandatangani tiap
persetujuan internasional, dan hendaknya mulai
menyusun strategi internasional jangka panjang. Jangan sampai
globalisasi yang masuk ke Indonesia malah merugikan dan menghancurkan bangsa
ini. Rakyat dan negara harus bisa bebas dari ketergantungan asing. “Mandiri” menjadi
kunci sukses keberhasilan ini. Pemerintah hendaknya kembali fokus pada tujuan
utama, fokus pada pembangunan rakyat (sandang,
pangan papan, pendidikan, kesehatan dan segala kebutuhan lainnya) dengan cepat
dan tepat.
Tidak
salah karena rakyat yang kuat akan mampu untuk bersama secara mandiri membangun
bangsanya. Dan pada akhirnya akan berhasil membentuk keseimbangan pasarnya
sendiri yang sesuai dan tak berat sebelah. Maka ketika globalisasi datang
menghampiri dengan iming – imingnya yang menggiurkan, rakyat bersama sudah
dalam kondisi siap menghadapi globalisasi dan tak akan mudah terpedaya. Hingga rakyat
dan negara mampu membentuk globalisasi kompetitif menjadi “globalisasi yang
adil dan terkandali” yakni globalisasi yang tak mengenyampingkan rakyat,
mengutamakan kepentingan nasional dan tanpa mengabaikan tanggung jawab global.
[2] Sri-Edi Swasono : Indonesia is not for sale
Kompas 4 november 2010
[3] Bung hatta bapak kedaulatan rakyat bab 53.
Oleh Sri-Edi Swasono : satu abad bung
hatta, kedaulatan rakyat dasar martabat bangsa
[4] Asas yang menyatakan orang dari golongan tertentu mengikuti hukum
yang sama disuatu negara berbeda
[5] Aturan peralihan Pasal
II: Segala badan
negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
[6] Lihat juga syarat dan perjanjian yang telah disepakati Indonesia: http://www.deptan.go.id/kln/berita/wto/ttg-wto.htm
[7] Lihat juga peran lainnya secara lebih detail : Jeremmy clift, International
mutual fund, Washinton DC 2001
[8] www.loahmutuk.org, timor
post 4 desember 2009: terlampir juga data – data mexico, argentina dan penyebab
krisis global
[9] http://www.iie.com/publications/papers/paper.cfm?researchid=486
Dijelaskan lebih lanjut Washington consensus oleh John Williamson dalam Latin American
Adjustment: How Much Has Happened?1990 di Chp 2 sebagai
: (1) fiscal deficit, (2) public expenditure priorities, (3) tax reform, (4)
interest rate by market, (5) competitive exchange rate, (6) liberalization
trade policy, (7) foreign direct investment by debt equity swaps (8)
privatization, (9) deregulation for competitive market, (10) property right
[10] Prinsip yang menyatakan :kebijakan ekonomi suatu negara untuk
memperbaiki permasalahannya dengan memberikan efek negative pada perekonomian
negara sekitarnya
[11] Richat peet, Unholy Trinity: The IMF, World
Bank and WTO 2003.
it
shows how neoliberalism hijacked the IMF, World Bank and WTO in relation to
their global financial, development and trade management roles.
1 komentar:
salam gan ...
menghadiahkan Pujian kepada orang di sekitar adalah awal investasi Kebahagiaan Anda...
di tunggu kunjungan balik.nya gan !
Posting Komentar