sumber gambar: http://watatita.wordpress.com |
“Jika Indonesia
terkadang membingungkan, itu karena nasionalisme disini mengandung sebuah
paradox, jika ia menyebabkan kita merasa akrab dengannya, itu juga karena
paradox yang sama. Ia menyatakan pendapat yang partikular tapi juga menghimbau
ke yang universal”[1]
LATAR BELAKANG : Sendu Pancasila
B
|
egitulah
seuntai kalimat pembuka dari Gunawan Mohammad selaku penulis senior Indonesia.
Nasionalisme kita paradox. Makin tidak jelas terombang – ambing samudera luas,
tidak tahu mau kemana, sang Nahkoda kapal juga bingung apalagi awaknya.
Pancasila ibarat lampu suar sudah seyogyanya memberikan arahan bagi kapal – kapal
Indonesia untuk kembali pulang ke tanah air tercinta, sebagai “guidline” pedoman utama mereka yang
senantiasa membimbing kita pada tanah air nasionalisme itu sendiri. Atau
sebagai rel kereta yang setia menunjukkan, mengarahkan, membimbing dan
membatasi gerak masinis sehingga jelas arah dan tujuan perjalan kereta.
Nasionalisme
bukan hanya sekedar cinta tanah air. Tapi juga merasa senasib sepenanggungan,
mau melihat sanak saudara dibelahan pulau beda, saling membantu, serta menolong
satu sama lain. Persis sila ketiga “Persatuan
Indonesia”. Bukannya Indonesia pun lahir oleh sebab luka yang sama?
Perasaan senasib setelah 3 abad dikekang oleh bangsa lain, dirampas seluruh
kekayaanya, batin, jiwa, raga, serta tanah dan isi – isinya. Bukankah ini
alasan utama para pejuang kita meruncingkan bambunya? Padahal Jika kita mau
menilik lebih jauh kalimat pembuka diatas akan ada makna kata “universal”,
milik bersama. Memang benar nasionalisme lahir dari individu – individu yang
berbeda namun itu semua untuk kepentingan bersama. Kepentingan tanah air
Mau tidak mau,
suka tidak suka Pancasila adalah harga mati bagi nasionalisme Indonesia.
Mengapa demikian? Selain karena alasan diatas, pancasila merupkan suatu nilai
yang lahir dari banyak Founding Father
bangsa. Nilai – nilai yang terkandung didalamnya adalah nilai murni yang belum
terkikis oleh derasnya arus zaman. Nilai yang terbentuk dari semangat
“Nasionalisme” MEMPERSATUKAN BANGSA. Tak ada lain nafsu para Founding Father kala itu, selain daripada
mempersatukan Nusantara dalam nama Indonesia, dalam warna Merah – Putih, dan dalam
naungan ibu pertiwi. Sebab itu ada kalimat “Bhineka Tunggal Ika” pada Garuda
yang bertanggar di gedung – gedung Negara.
Namun demikian
terenyuh batin ini ketika mengingat fakta yang terjadi sekarang. “…
warisan luhur yang dipuji berbagai tokoh dunia itu dianggap sudah apak-basi….
Dianggap tidak relevan. (pancasila) tidak hanya dihayati, dihafalkan anak
sekolah pun tidak, apalagi dipraktikkan dalam praksis kehidupan bernegara dan
bangsa” ( St.Sularto:2010)[2]
. yak benar! Warisan luhur kita ini mulai tak dianggap, banyak masyrakat
Indonesia yang mulai tak paham dengan nilai asli Pancasila. Lebih dari itu
upaya perwujudan nilai – nilai pancasila selama ini terkesan setengah hati, … “kalaupun dibahas malah semakin dijauhkan,
diletakkan di ruang – ruang sempit dan pengap, jauh dari pesona panggung, yang
memang dibajak oleh para petualang politik yang hidup dari oportunitas harian…
lebih tidak adil lagi jika pancasila sampai dijadikan kambing hitam atas segala
kemacetan dalam bidang social, politik, ekonomi dan keamanaan selama ini”
(Rikard Bagun: 2010).[3]
Padahal kita
sadar sendiri pengaruh sebuah bangsa yang mulai kehilangan dasar Negara
(Pancasila)nya. Lebih – lebih macam Republik pluralistic ini, bisa terancam
tamat dan bubar jika tidak ada ukuran dan acuan berpikir serta berperilaku
satu. Sepenting itukah pancasila? Ya sepenting itu! Kehilangan dasar Negara
sama saja dengan rumah yang kehilangan tiangnya, ia akan ambruk, jatuh lantas
roboh tak berbekas
Tidak ada lain
selain nilai - nilali pancasila yang menjadi ikatan bagi masyrakat Indonesia,
sebuah perekat yang menyatukan keberagaman sabang – marauke, miangas – rote.
Maka ketika nilai – nilai ini telah terkikis dan tak lagi diindahkan maknanya
tak terpikirkan yang akan terjadi pada Republik ini. Dan pembiaran segala
perilaku – perilaku bangsa yang mengarahkan kita pada kondisi ini bisa saja
kita artikan sebagai kelengahan social, ya?
TEORI IKATAN SOSIAL - EKONOMI : Dasar pemikiran
Dipandang dari
segi manapun ekonomi dan masurakat selalu berhubung. Dalam persamaan teori
klasik ekonomi, dikatakan sebuah pendapatan Negara (Y) adalah total dari
penjumlahan konsumsi (C), investasi (I), Government expenditure (G), dan trade
balance (NX)[4].
Disebutlah konsumsi sebagai salah
satu komponen pendapatan nasional. Jumlah konsumsi ini tergantung dari jumlah
penduduk suatu wilayah, demikian besar kecilnya penduduk mempengaruhi variable
konsumsi. Sehingga penting bagi kita untuk menghitung jumlah penduduk terlebih
dahulu sebelum menetapkan besarnya variable konsumsi. Di Indonesia penghitungan
jumlah penduduk yang berkala di sebut dengan istilah Sensus Penduduk (SP).
Tidak hanya
itu, berdasarkan ilmu demografi jumlah penduduk suatu wilayah dapat dipengaruhi
oleh beberapa factor. Yakni Fertilitas (kelahiran), Mortalitas (kematian),
Migrasi masuk, dan migrasi keluar. Keempat variable ini turut menentukan jumlah
penduduk disautu wilayah[5].
Sehingga jelas nanti dampak dari pengurangan dan penambahan dari tiap – tiap
variable bagi pendapatan Negara.
Lebih lanjut
dijelaskan ada tiga variable penentu nasib bangsa Yakni demografi, sejarah, dan
geografi[6] (Dorodjatun:2012). Bentuk demografi penting
mempengaruhi income suaut wilayah, demikian juga dengan demografi dan sejarah
wilayah itu sendiri. Salah satu contoh kesempatan masa depan yang dapat diraih
Indonesia dalam masa depan adalah “windows of opportunity” yakni kondisi dimana
golongan muda akan lebih banyak dan produktif dibanding dengan golongan non –
produktif ( tua dan anak – anak)
Namun demikian
semua proyeksi pertumbuhan ekonomi diatas tidaklah berarti apa – apa jika
masyrakat yang dimaksud tidak dapat berjalan secara beriringan. Bagaimana bisa
suatu wilayah maju jika selalu saja ada pertikaian diantaranya. Karenanya suatu
ikatan social ( Pancasila ) penting bagi Indonesia untuk menjamin keselarasan
tersebut.
“Law of Peoples” lebih lanjut menyatakan bahwa
masyrakat sudah sepatutnya mematuhi segala peraturan yang berlaku, mengerti
bahwa seluruh masyrakat adalah memiliki kesamaan hak, menolak segala bentuk
KEKERASAN kecuali untuk melindungi diri dan senantiasa menghormati hak asasi
manusia. [7]
mengapa harus demikian? Karena pada hakikat sederhananya manusia adalah makhluk
social, yakni makhluk yang hidup secara berkelompok dan tak mampu hidup
sendiri. Mereka hidup dengan membentuk grup – grup untuk MEMECAHKAN MASALAH
BERSAMA, memaknai arti hidup , hingga sampai dengan menghabiskan waktu bersama
untuk bersenang – senang. Kesemuanya adalah kegiatan dan pengalaman manusia
sesuai dengan hakekatnya[8]
Kesemuanya ini
kemudian didukung oleh dua peneliti politik dan ekonomi Robinson dan Acemoglu[9].
Mereka telah melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwasanya kegagalan suatu
Negara lebih sering disebabkan oleh dua sebab, Politik dan Ekonomi. Dua factor
utama inilah yang kemudian menyebabkan suatu Negara menemui kemunduran
Demikian dasar
pemikiran yang telah terkumpul. Baik dari segi social dan ekonomi dapat kita
katakan adalah sebuah satu kesatuan. Seberapa baik asumsi – asumsi yang
didirikan oleh para ekonom tidak akan berhasil apabila tak didukung ikatan
social yang baik. Dan manusia sebagai makhluk social sudah sepatutnya sadar dan
mendukung hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam hukum Law of people’s
KONFLIK SOSIAL : Studi kasus tragedy Ambon 1999
"Yang jelas
merah putih harus berkibar di seluruh tanah air, itu bendera kita dan daerah
bisa saja memiliki lambang tetapi sesuai ketentuan yang berlaku, ketentuan
Undang-undang, semangat serta jiwa bahwa hanya ada satu bendera kedaulatan
kita, yaitu sang merah putih," _( Susilo Bambang Yudhoyono)[10]
Kalimat diatas terlontar oleh orang besar bangsa ini, bapak
Yudhoyono. Presiden Indonesia ini mulai mencak – mencak ketika mendapat laporan
tentang Gerakan aceh merdeka yang masih belum rampung – rampung juga.
permasalahan nilai pancasila memang belum terpecahkan hingga sekarang. Masih
juga jadi bobot dan momok bangsa.
Kita tidak membicarakan konflik GAM yang terjadi di Aceh
beberapa tahun lalu. Jauh sebelumnya, kira – kira 14 tahun silam di kepulauan
Maluku terjadi konflik yang lebih berdarah. Hanya dalam waktu kurang dari satu
tahun ribuan orang dilaporkan meninggal dunia, ratusan orang luka – luka, belum
lagi kasus penculikan, perusakan barang public dan kasus perkosaan. Menambah
rusuh kota kecil itu
Banyak masyrakat menyebutnya dengan tragedy Ambon 1999.
Dinamai ambon karena memang disanalah pusat konflik antarwarga yang terbesar.
Kekeacauan di salah satu Provinsi tertua Indonesia ini menemui titik puncaknya
kala dua golongan islam dan Kristen mulai saling – serang, tak tanggung –
tanggung senjata yang digunakan mulai dari senjata tajam hingga senjata api
rakitan. Senjata – senjata berbahaya yang mampu penghilangkan nyawa manusia
dalam sekejap.
Menurut Zulkipli dalam thesisnya, tragedy ini semakin
menjadi – jadi oleh sebab gagalnya mediasi antara kedua belah pihak, dan
pemerintah sebagai pihak fasilitatornya pantas untuk dinyatakan gagal, mengapa?[11]
Karena dalam penentuan keputusan perjanjian terdapat indikasi pemerintah
cenderung memihak suatu golongan. Pemerintah tidak netral. Kedua dalam diskusi
persidangan sang pemerintah juga tidak focus pada akar kasus permasalahan,
sehingga perdebatan menjadi panjang dan melelahkan. Oleh karenanya dalam thesis
tersebut sang penulis mengajukan NGO’s ( Non Governmental organization )
sebagai fasilitator dan penengah netral antara kedua kubu tersebut. Karena
berdasarkan penilitian dia pihak ini lah yang mampu memecahkan ketegangan
antara kedua belah pihak dengan lebih efisien
Namun apa yang sebenarnya terjadi pada Ambon kala itu?
Mengapa hingga bisa timbul perpecahan dan kengerian seperti itu. Peristiwa ini
mungkin tak diketahui banyak pemuda sekarang, karena tragedy ini hamper
bertepatan dengna peristiwa besar lainnya yang menimpa Indonesia kala itu.
Yakni bencana krisis moneter.
Demikian peristiwa ini tetap saja merupakan sebuah aib dan
sebuah pelajaran besar bagi Negara muda ini. Pelajaran yang harus dibayar oleh
ribuan nyawa. Untuk mengetahui lebih jelas tentang peristiwa yang terjadi mari
kita mulai dari awal terbentuknya tragedy ini.
Pertama, “tidak ada yang
mengira bahwa pertikaian antara warga ambon Jopie siya dan Fery Mual (keturunan
ambon) dengan Usman dan Rasid Walla (keturunan Buton, bugis, dan makassar) yang
terjadi di depan bioskop Victoria di perbatasan batu merah – mardika ambon pada
19 januari 1999 yang bertepatan dengan hari idul fitri satu syawal 1419 H, berubah menjadi pertikaian dua kelompok besar.
Mereka saling serang dan membakar rumah penduduk, mobil , dan barang public
lainnya serta menyebabkan korban jiwa”[12].
Peristiwa ini dikenal dengan sebutan idul fitri berdarah
Hal ini terjadi karena terdapa desas desus isu SARA, yakni
pengusiran kaum BBM (Batak, Bugis, Makassar) dari ambon sontak terdengar keras
kala itu. Anehnya isu ini justru tersebar duluan dari kalangan Kristen, ada isu
yang mengatakan bahwa doktirin ini malah berasal dari gereja. Tragedy idul
fitri berdarah ini juga memiliki sebab akibat lain, yakni pemulangan 200 preman
ambon dari Jakarta, peristiwa Wailite ( 13 desember 1998), peristiwa air bak (
27 Desember 1998) dan peristiwa dobo (19 Januari 1999), hal ini kemudian
dibenarkan juga oleh zulkipli.
Pada peristiwa wailite terjadi penyerangan besar – besaran
pada penduduk sekitar. Masyrakat wailite yang mayoritas adalah BBM diserang
habis – habisan oleh kampong hative basar (Kristen). Dengan bersenjatakan batu
para penyerang tersebut membakar beberapa rumah warga wailite sehingga
menyebabkan masyrakat wailite harus diusingkan ke tempat aman selama beberapa
hari. Tidak ada kejelasan kembali tentang peristiwa ini, polisi juga Nampak
ragu menginvestigasi, hingga pada akhirnya kaum Hative basar mengumumkan bahwa
mereka tidak akan menerima kembali kaum BBM kembali ke desa wailite
Peristiwa air bak adalah peristiwa dimana hanya terdapat 8
penduduk muslim di desa tersebut. Konflik terjadi tatkala kaum muslim berusaha
mengusir babi yang memasuki kebun mereka, hal ini memicu kemarahan kaum Kristen
hingga terjadi aksi pelemparan batu. Tak ada penyelesaian kasus juga, warga
muslim malah ditahan polisi.
Peristiwa yang terkahir adalah peristiwa Dobo. Peristiwa ini
paling layak disebut sebagai cikal bakal terjadinya tragedy ambon. Bagaimana
tidak pada kejadian kali ini dilaporkan lebih dari 10 korban meninggal dunia.
Penyerangan lagi lagi dilkakuan oleh kaum Kristen. Selepas shalat idhul ied
secara tiba – tiba terjadi penyerangan, korban jiwa diantara kedua belah pihak
pun tak terelakkan. Selain korban jiwa terdapa juga peristiwa pembakaran
puluhan rumah warga muslim yang terjadi di hari yang sama.
Rentetan 3 peristiwa diatas seolah – olah memang terlihat
seperti terorganisir dan direncana, dimana para umat Kristen memang ingin
mengusir kaum muslim BBM pergi dari Ambon dan Maluku. 3 peristiwa ini pulalah
yang menjadi dasar dari terpecahnya tragedy idul fitri berdarah pada 19 januari
1999.
Kedua, hari – hari
setelah januari 1999 terus dihadapai
dengan pertumpahan darah. Dari hari kehari jumlah penyerangan yang terjadi dan
korban yang berjatuhan makin banyak. Kali ini berita dan data berdasarkan
catatan oleh MUI daerah setempat. Ada beberapa kejadian besar setelah bulan
januari ini, yakni : peristiwa pengundangan makan bersama oleh panitia “damai”
kepada warga muslim. Namun ternyata undangan makan tersebut hanyalah kedok
semata, warga Kristen justru datang dengan persenjataan lengkap seperti panah,
tombak dan lain – lain. Sehingga tempat yang awalnya dijadikan tempat untuk
berdamai tersebut malah berubah menjadi medan pertempuran
Kemudian pada 4 Februari terjadi 3 kali penyerangan dalam
sehari, penyerangan pertama dilakukan selepas umat islam megadakan shalat
subuh. Kali ini korban banyak berjatuhan dari kalangan buton. Sebanyak 7 orang
meniggal akibat serangan tersebut, salah satunya adalah anak – anak. Serangan
kedua dilakukan jam 07.00 pagi, pembuat rusuh namun kemudian berhasil melarikan
diri kedalam hutan. Pada peristiwa ini banyak kerusakan yang terjadi pada rumah
penduduk. Kemudian tidak henti sampai disitu, pada pukul 10.00 WITA rumah –
rumah penduduk mulai diserang satu per satu, dimulai dari lokasi yang terdekat
dengan hutan
Jangan kira kerusuhan ini hanya berkisar pada panah, tombak,
dan senjata rakitan saja. Dalam catatanya MUI local juga mencatat banyak
peristiwa ledakan dan serangan BOM. Pada tanggal 14 terjadi pembataian juga di
kepulauan Haruku, Maluku Tengah. Kali ini ada peristiwa mengejutkan lain, yakni
turut terlibatnya beberapa aparat dalam proses penyerangan ini, belasan warga
muslim terbunuh dan 40 lebih luka berat akibat terkena tembakan dan ledakan
granat
Pada tanggal 23 Februari puluhan bom kembali dimuntahkan ke
perkampungan yang mayoritas penduduk muslim di kota madya Ambon batu merah.
Peristiwa ini menyebabkan banyak korban jiwa pula. Puluhan rumah rusak dan
banyak korban luka – luka. Bahkan hingga maret 1999 peristiwa penyerangan –
penyerangan serupa masih sering terjadi, tak pengap warga muslim di Provinsi
ini menjadi merasa tak aman. atpemerintah yang terlalu besar dan koordinasi
yang kalah rapi. Sehingga banyak dari mereka yang untuk sementara memutuskan
untuk mengungsi dan pindah ketempat lain
Berdasarkan catatan MUI dan tim investigasi memang kerusuhan
ini hingga bulan agustus 1999. Dan serangan yang terjadi serupa pula dengan
cerita – cerita diatas, tak berbeda jauh. Warga muslim BBM masih saja terus
diserang dan diancam untuk pergi dari Ambon. Banyak orang kala itu yang mengira
pula kejadian ini sebagai salah satu bentuk era Reformasi di Ambon dimana
banyak orang masih salah kaprah menanggapi makna arti “kebebasan” dan demokrasi
DAMPAK KASUS :
Dalam aspek Ekonomi – Politik
Identitas dapat dikatan ibarat kain yang menutup
ketelanjangan diri: bila demikianlah halnya, paling baik bila kain itu
dikenakan longgar, sedikit seperti jubbah di padang pasir, yang masih bisa menyebabkan keterlanjangan itu dirasakan,
dan, kadang – kadang dapat ditilik(James Baldwin, The price ticket[14])
Identitas Maluku sudah tidak jelas, morat marit ndak karuan.
Perpecahan antar umat beragama dan golongan makin terasa. Masyrakat mereka
gagal paham memaknai arti perbedaan, arti persatuan, hanya ada kepentingan
individu dan atau golongan. Kembali saya mengingatkan disini bahwa bisa saja
mereka kita artikan tak meresapi indahnya nilai nilai pancasila, indahnya makna
kata “Persatuan Indonesia”.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, tak perlulah saya
mengingatkan anda kembali tentang masyrakat yang mulai melupakan dasar
negaranya. Akibatnya benar nyata! Terjadi kemunduran perekonomian bagi Provinsi
Maluku, hal ini disebabkan oleh karena berkurangnya masyrakat Maluku yang
menopang roda kehidupan Provinsi tua ini
Banyak masyrakat BBM Muslim yang pada akhirnya memilih untuk
meninggalkan Maluku dan ambon. Hal ini mereka lakukan untuk menyelamatkan nyawa
mereka masing – masing, sebuah tindakan logis. Kepergian mereka ini tentu
meninggalkan banyak tempat kosong dalam beberapa pekerjaan. Untuk sementara
beberapa peran penting dalam provinsi ini ikut hilang terbawa kabur besera
orangnya ke luar Maluku. Hal ini ditandakan dengan penurunan tajam netto
migrasi provinsi Maluku di tahun 1999
Tidak hanya itu pula, perekonomian Maluku yang salah satunya
di pompa oleh variable konsumsi (C) ini juga mulai menapakkan pengerdilan
nilai. Maka ketika beberapa sector penting telah mati dan tingkat konsumsi juga
menurun,makin mengecil pulalah pendapatan nasional Maluku. Lebih dari itu,
kunjungan turis pariwisata juga turun secara drastic baik lokal dan non – lokal.
Padahal provinsi yang 90% lebih terdiri atas lautan ini memiliki banyak pesona
alam yang dapat menarik perhatian para pencari wisata. Demikian hal ini tak
lagi ada mengingat kondisi wilayah ini yang masih dalam status “konflik”. Tidak
ada wisatawan yang ingin membahayakan nyawanya tentu
Selain ekonomi, dampak yang paling terasa juga berasal dari
aspek politik. Provinsi yang tua ini kini mengalami ketegangan politik yang
memuncak, banyak golongan yang memanfaatkan situasi ini sebagai batu loncatan
tujuan mereka. Memang benar Indonesia kala itu baru terlepas dari belenggu orde
baru, presiden baru kitaHabibie mulai membuka keran demokrasi. Kehausan
masyrakat akan kebebasan ini yang kemudian disalah artikan. Demokrasi bukan
berarti bebas melakukan segala kehendak, bukan berarti bebas untuk bersuara apa
saja, tetap saja ada batasan yang membatasi hak kita, batasan tersebut adalah hak orang lain
Selain karena dampak
politik nasional yang masih mempengaruhi mental penduduk Maluku, ternyata
tuntutan untuk merdeka dari Indonesia juga malah ada. Tuntutan ini sering
disorak – soraikan oleh salah satu golongan masyrakat Maluku yang tergabung
dalam FKM (Forum Kedaulatan Maluku). Keinginan mereka jelas! Membentuk REPUBLIK
MALUKU SELATAN
Meski akhirnya tuntutan ini diurungkan, namun timbul satu
konsekuensi besar bagi ketata negaraan Indonesia, yakni munculnya satu Provinsi
baru lagi. Provinsi ini dinamai Maluku Utara, timbul oleh sebab konflik Ambon
dan mulai menapakkan dirinya sejak tahun 1999. Kondisi politik Maluku kala itu
memang tak bisa dibayangkan, belum lagi jika kita menambahkan aksi solidaritas
kaum muslim yang berada jauh dari Provinsi ini. Lascar jihad dari berbagai
belahan Indonesia dikabarkan ikut turut serta dalam konflik dan tragedy
berdarah ini.
Kegamangan kaum TNI juga menjadi kendala akan situasi social
politik kala itu. Apalagi ketika terbukti ditemukannya aparat dalam salah satu
penyerangan yang terjadi. Makin tidak mengenakkan kepercayaan masyrakat
terhadap pemerintah, meski pada akhirnya mereka berdamai dalam sebuah
perjanjian pun akhirnya tak diindahkan. Masyrakat tak lagi percaya pada
independensi pemerintah, ia tak lagi netral. Hingga penting dan dirasa perlu
kala itu diutus pihak keempat dalam mendamaikan tragedy berdarah ini. Sebuah
kejadian besar bagi Negara muda Indonesia memang
MASA DEPAN
IKATAN SOSIAL : Harapan dan Perbaikan
Pancasila adalah platform nasional yang paling utama.
….ibarat bilangan pecahan, pancasila dan UUD 1945 adalah the common denominator
atau penyebut. Plurasisme antara bilangan1/2 dan bilangan 1/3 tidaklah bisa
digabung menjadi satu apabila tidak disamakan penyebut atau common denominator.
1/2 menjadi 3/6 dan 1/3 menjadi 2/6, maka keduanya bisa digabung menjadi satu
keutuhan kesatuan, jadilah 5/6 (Sri-Edi
Swasono)[15]
Tidak akan bosan – bosan saya mengingatkan anda tentang arti
penting pancasila. Nilai – nilai yang terkandung didalamnya adalah nilai –
nilai murni yang jangan diabaikan. Ia adalah dasar Negara, dasar yang menjadi
pereka seluruh perbedaan yang tercipta di Negara ini. Di tanah dan air ini.
Maka jika ada yang bertanya apa ikatan social bangsa Indonesia? Mantaplah
saudara sekalian berucap PANCASILA
Konflik dan tragedy berdarah di ambon adalah peristiwa yang
tak lagi mengindahkan itu semua. Mereka melanggar asumsi law of people
sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Mereka tak mengakui persamaan hak, tak
mengakui perbedaan, tak mengakui pula hak asasi manusia. Mereka juga
menggunakan jalan kekerasan untuk menyelesaikan masalah, bahkan hingga timbul
ribuan korban jiwa. Menyebabkan kondisi ekonomi – politik ruwet mawut. Rakyat
bingung raja turut bingung.
Bukankah ini tanda failed states ( Negara gagal )? Jika
merujuk lebih luas konflik antar warga bukan hanya terjadi satu – dua kali di
negeri kita ini. Sebut saja peperangan antar suku yang masih sering terjadi di
wilayah timur kita, atau tragedy Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang tentu masih
segar diingatan kita pula. Atau masih ingat dengan “timur – timur”? wilayah
yang berhasil memecahkan diri dari Indonesia dan berdiri dengan nama Timor
Leste.
Adalah sedikit contoh dari banyaknya konflik social yang
terjadi dikalangan masyrakat kita. Sekali lagi saya sebutkan, ini adalah akibat
kegagalan paham mereka akan ikatan social bangsa Indonesia. Pancasila. Mereka
mulai meremehkan tulisan serta lambang yang terukir di patung Garuda itu.
Benar memang anak anak sekolah kita tak lagi memahami
ideology ini. Pemerintah lebih senang meracuni mereka dengan kurikulum asing,
focus mereka hanya pada persiapan menghadapi dunia luar tanpa mengerti untuk
apa mereka berjuang kelak. Anda bisa bayangkan sendiri apa yang akan terjadi
nantinya ketika generasi emas kita tidak lagi mengerti negaranya sendiri, tidak
paham perbedaan tanah air, hanya terpaku pada ideology – ideology yang malah
mereka temukan sendiri
Maka dengan ini semua masa depan Indonesia sudahlah sangat
jelas. Jika memang tak ada niatan serius pemerintah untuk memperbaiki ini semua
tak usah diragukan lagi, Indonesia akan menjadi sejarah. Namanya hanya akan
tercatat di buku – buku pintar perpustakaan sebagai Negara yang pernah ada.
Musnahnya pancasila sama saja dengan runtuhnya tembok berlin sebagai tanda awal
runtuhnya Negara jerman. Tak perlu diragukan pula dengan masa depan generasi
emas kita yang hanya akan menjadi pesuruh – pesuruh orang asing, mereka tak
lagi punya landasan dasar untuk berpegang. Tak punya lagi arahan dan guidline
untuk terus hidup dan mempertahankan bangsa
Maka dengan ini semua besar harapan saya pada
pemerintah dan segenap bangsa Indonesia untuk kembali pada nilai – nilai
pancasila, nilai – nilai yang mempersatukan kita (ikatan social bangsa). Mari
memulai hidup dengan mempertahan warisan dan semangat luhur ini, tugas kita
adalah menyampaikan pesan dan pengharapan para pendiri bangsa pada generasi
penerus bangsa. Tanggung jawab kita adalah menyiapkan generasi berkualitas yang
mengerti tentang seluk beluk negaranya, bukan generasi yang malah tertanam
ideology bangsa lain. Oleh sebab Negara ini didirikan berdasar ASAS KEBERSAMAAN
bukan berdasar suatu ketetapan satu – dua orang, bukan pula atas pemberian
bangsa lain, karenanya dokterin Pancasila sebagai landasan dasar pemersatu
bangsa penting benar untuk dijaga, dimengerti dan diamalkan. Dan semoga dengan
ini ada sebuah perbaikan yang berarti oleh pemerintah tentang mental dan
pendidikan bangsa besar ini.
DAFTAR BACAAN
Mohammad, Gunawan. 2011. “indonesia/proses : dari
STOVIA, melintasi taksonomi Pg (55-68)”. Tempo/Grafitii.
Jakarta
Sularto,
ST. 2010. “Rindu Pancasila: Kesalehan social bangkrut, Pg( 5 – 8)”. Kompas PT
media nusantara. Jakarta.
Oktober 2010
Bagun,
Rikard. 2010. “Rindu Pancasila: Pancasila janganlah diabaikan, Pg( xvii–xx)”.
Kompas PT media nusantara. Jakarta. Oktober 2010
Mankiw,
N.G. 2009. “Macroeconomics 7th edition : Chp 2 the data of
macroeconomics, pg (27). Worth
publisher. New York city. 2010
Samosir,
omas Bulan dan Adioetomo, sri moertiningsih. 2011. “dasar dasar demografi”.
Penerbit salemba empat. 2010. Jakarta
Kuntjoro-Jakti,
Dorodjatun. 2012. “menerawan Indonesia pada dasawarsan ketiga abad ke 21” . :
peta global, pg (15-111). Pustaka
alvabet .maret 2012. Jakarta
Chomsky,
noam. 1866. “Failed states: the abuse of power and the assault on democracy”
pg(39) . Henry holt and company. 2006.
New York
Edwards.
Michael. 2004. “Civil Society: civil society as associational life” pg (18).
Polity press. 2008. Cambridge.UK
Robinson,
James dan Acemoglu, daron. 2012. “why nations fail?: the origins of power,
prosperity, and poverty”. Crown
business. Maret 2012. New york
DIAKSES
PADA 9 JUNI 2013, PKL 10.00 WIB. “Dalam Pertemuan tertutup Pemerintah, Istana
Presiden Indonesia, Jakarta 5 April 2013
: http://news.liputan6.com/read/554067/kisruh-bendera-daerah- mirip-gam-sby-panggil-gubernur-aceh”
Lessy, zulkipli. 2006. “the ambon conflict and
social work intervensions : a critical study of reconcilitation efforts between muslim and christian community
iniated by government and non government organization.
Poquest dissertation and thesis. Agustus
2005. Canada
Israr,
hikmat. 2013. “meninggalkan Ambon dengan kepala tegak: sekilas pengabdian
mayjen TNI djoko santoso selaku
pangkoopslihkam dalam memulihkan konflik ambon pg (1)”. Budaya media. Bandung
Mohammad,
Gunawan. 2011. “indonesia/proses : Kain Baldwin Pg (31 - 54)”. Tempo/Grafitii.
Jakarta
Swasono,
Sri_Edi. 2008. “ekonomi islam dalam pancasila”. Disampaikan dalam annual
meeting of Indonesia economics
experts association UNAIR. Agustustu 2008. Surabaya
[1]
Mohammad, Gunawan. 2011. “indonesia/proses : dari STOVIA, melintasi taksonomi
Pg (55-68)”. Tempo/Grafitii. Jakarta
[2]
Sularto, ST. 2010. “Rindu Pancasila: Kesalehan social bangkrut, Pg( 5 – 8)”.
Kompas PT media nusantara. Jakarta. Oktober 2010
[3]Bagun,
Rikard. 2010. “Rindu Pancasila: Pancasila janganlah diabaikan, Pg( xvii–xx)”.
Kompas PT media nusantara. Jakarta. Oktober 2010
[4]
Mankiw, N.G. 2009. “Macroeconomics 7th edition : Chp 2 the data of
macroeconomics, pg (27). Worth publisher. New York city. 2010
[5]
Samosir, omas Bulan dan Adioetomo, sri moertiningsih. 2011. “dasar dasar
demografi”. Penerbit salemba empat. 2010. jakarta
[6]
Kuntjoro-Jakti, Dorodjatun. 2012. “menerawan Indonesia pada dasawarsan ketiga
abad ke 21” . : peta global, pg (15-111). Pustaka alvabet .maret 2012. Jakarta
[7]
Chomsky, noam. 1866. “Failed states: the abuse of power and the assault on
democracy” pg(39) . Henry holt and company. 2006. New York
[8]
Edwards. Michael. 2004. “Civil Society: civil society as associational life” pg
(18). Polity press. 2008. Cambridge.UK
[9]
Robinson, James dan Acemoglu, daron. 2012. “why nations fail?: the origins of
power, prosperity, and poverty”. Crown business. Maret 2012. New york
[10] Dalam Pertemuan tertutup Pemerintah, Istana
Presiden Indonesia, Jakarta 5 April 2013 : http://news.liputan6.com/read/554067/kisruh-bendera-daerah-mirip-gam-sby-panggil-gubernur-aceh
[11]
Lessy, zulkipli. 2006. “the ambon conflict and social work intervensions : a
critical study of reconcilitation efforts between muslim and christian
community iniated by government and non government organization. Poquest
dissertation and thesis. Agustus 2005.
canada
[12]
Israr, hikmat. 2013. “meninggalkan Ambon dengan kepala tegak: sekilas
pengabdian mayjen TNI djoko santoso selaku pangkoopslihkam dalam memulihkan
konflik ambon pg (1)”. Budaya media. Bandung
[13] http://www.adriandw.com/peristiwa_ambon.htm
[14] Mohammad, Gunawan. 2011. “indonesia/proses :
dari STOVIA, melintasi taksonomi Pg (55-68)”. Tempo/Grafitii. Jakarta
[15] Swasono,
Sri_Edi. 2008. “ekonomi islam dalam pancasila”. Disampaikan dalam annual
meeting of Indonesia economics experts association UNAIR. Agustustu 2008.
Surabaya
0 komentar:
Posting Komentar