“I will
discuss what recent economic research tells us about exchange rate pass-through and what
this suggests for the control of inflation and monetary policy. I will first
focus on exchange
rate pass-through from a macroeconomic perspective and then
examine the microeconomic evidence (MISHKIN, 2008)”[1]
Kartun Benny |
M
|
enilik ulang kutipan diatas yang diucapkan oleh ekonom besar
Frederic S. Mishkin tentang exchange
rate pada konfrensi Bank nogres yang diadakan 2008 tahun silam tentang exchange
rate tentu menarik dan menimbulkan beberapa pertanyaan. Mishkin adalah salah
satu Gubernur Bank sentral yang dimiliki oleh Negara adi daya Amerika serikat
(FED :Federal Reserve[2]).
Sebegitu pentingnya isu tentang exchange rate ini hingga dijadikan topic acuan
umum untuk membahas konsen utama bank sentral dunia, inflasi.
Exchange rate atau yang oleh kita lebih dikenal dengan “nilai
tukar” adalah perbandingan mata uang suatu Negara dengan Negara lain. Mengapa
isu sederhana ini menjadi sebuah topic yang banyak diperdebatkan oleh banyak
ekonom di zaman dahulu hingga sekarang? Tentu hal ini tak lepas dari
karakteristik echange rate itu sendiri
Exchange rate menjadi penting karena nilainya menjadi tolak
ukur suatu Negara di dunia. Selain sebagai nama baik, nilai exchange rate juga
turut mempengaruhi perdagangan internasional. Bahkan oleh beberapa ekonom besar
lainnya exchange rate harus dimasukkan dalam target penjagaan bank sentral, hal
ini dikarenakan exchange rate kerap disamakan sebagai nilai inflasi eksternal
yang dapat mempengaruhi nilai inflasi internal. Selain itu exchange rate juga
dapat dijadikan sebagai indicator dalam terjadinya sebuah krisis Negara (Rogoff
and Reinhart, 2009). teori ini kemudian dikenal khalayak umum dengan sebutan currency crash [3]
Exchange rate dalam teori ekonomi dibagi atas dua golongan
pemikiran, fix dan float[4].
Fixed exchange rate, atau yang biasa kita kenal dengan nilai tukar tetap adalah
pola pikir yang menganggap bahwa nilai exchange rate adalah sesuatu yang tetap
nilainya. Besaran nilainya akan ditentukan melalui beberapa diskusi dan rapat –
rapat terkait dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan politik tergantung
dari kebijakan negaranya. Sehingga dalam teori makroekonomi IS-LM curve, apapun
kebijakan yang akan dibuat pemerintah nantinya (baik fiscal ataupun moneter)
haruslah menghasilkan nilai exchange rate dengan nilai yang sama, tak peduli
tujuan awal diberlangsungkannya kebijakan tersebut. Paham ini memilki benefit kestabilan nilai tukar
Sedang satu lagi paham tentang exchange rate adalah floating
(mengambang). yakni paham yang tidak terlalu memperhatikan nilai exchange rate,
dalam teori makroekonomi IS-LM curve, nilai exchange rate dapat dibiarkan
mengambang dan tidak memiliki nilai yang pasti sebagai tolak ukur acuan utama.
Sehingga segala kebijakan moneter dan fiscal yang dikeluarkan pemerintah dapat
mengubah nilai exchange rate tanpa ada kewajiban untuk mengembalikannya ke
titik semula. Benefit dari paham ini adalah kemudahan pemerintah dalam membuat kebijakan ekonomi makro
PERDEBATAN PANJANG
Greater crisis susceptibility is a cost of more rigid exchange
rate regimes. But countries with floating regimes are not entirely immune
(Ghosh and Jonathan, 2008)
Perdebatan para ekonom tentang regime exchange rate yang
harus digunakan ini berawal dari Bretton Woods system. Sebelum ini tepatnya
semenjak berakhirnya masa perang dunia ke II (1994), banyak Negara yang
mengalami kerugian dan bahkan kesulitan kehidupan baik dari segi social,
ekonomi dan politik. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh Negara yang mengalami
kalah perang, namun juga pada mereka Negara yang memenangi perang, sebut saja
Amerika. Belum lagi dampak dari Great depression yang dialami banyak Negara di
belahan dunia makin memperparah keadaan saat itu. Karenanya untuk menanggulangi
masalah bersama ini tercetuslah sebuah gagasan untuk melakukan perundingan
dalam rangka menyelesaikan masalah ini. Isu ini sebenarnya sudah lama di elukan
oleh beberapa kalangan, bahkan diskusi – diskusi tertutup kerap kali dilakukan
sebelum pertemuan secara formal dilaksanakan
Kemudian barulah pada juli 1994 pertemuan ini diselenggarakan
secara formal di Mount washinton hotel yang terletak pada kota Bretton Woods.
Pertemuan ini dihadiri oleh 44 negara dengan 700 lebih delegasi yang hadir
untuk mewakili masing – masing Negara, dan hampir semua yang hadir adalah para
ekonom dari zaman tersebut. Isu penting yang dibahas kala itu adalah terkait
peraturan – peraturan internasional, termasuk diantaranya peraturan – peraturan
terkait kebijakan moneter suatu Negara. Hasil dari pertemuan ini kemudian
dijadikan sebagai landasan dasar regulasi – regulasi ekonomi dan politik bagi
banyak Negara di pertengahan abad 20. Segala hasil dan keputusan yang dibuat
pada pertemuan ini kemudian dikenal dengan istilah Bretton Woods System
Adalah isu terkait exchange rat[5]e
yang menjadi salah satu topic hangat perdebatan kala itu. Pada saat itu Harry D
White selaku perwakilan dari amerika serikat mengajukan sebuah usulan tentang
pembentukan ISF (international stabilized fund) yang di tujukan untuk mengatasi
permaslahan balance of payments dan pembangungan ulang bagi Negara – Negara
yang mengalami dampak besar dalam perang dunai II. Namun terdapat gagasan
berbeda dari perwakilan UK (inggris) yakni John Maynard Keynes. Keynes dalam
pertemuan ini mengusulkan hal yang berbeda, yakni pembentukan ICU
international clearing union) yakni
organsiasi yang mengurusi currency exchange. Hal ini penting menurut Keynes
mengingat banyaknya ketimpangan yang terjadi antara Negara yang kalah perang
dan menang perang, khususnya dalam kekuatan mata uang.
Debat panjang kemudian terjadi mengingat pihak amerika
melalui perwakilannya white menolak usulan yang diajukan oleh Keynes. Hal ini
didasari pada beberapa argument berikut, sperti (1) tidak ada penjelasan yang detail mengenaijumlah batasan kredit
pihak amerika harus sediakan (2)
clearing union yang dimaskudkan Keynes bersifat foreign terhadap amerika dan
congress. Namun Keynes tetap bersisi
kukuh untuk tetap memperjuangkan idenya ini masuk dalam keputusan yang dibuat
dalam Bretton woods system.
Dihari berikutnya ia mengusulkan untuk memberi tambahan ide
dengan membuat Whites Unitas sebagai internasional currency yang sesungguhnya
ketimbang membuat semua member yang tergabung dalam ISF membuat currency masuk
dalam satu lembaga keuangan, termasuk dollar. Hal ini kemudian kembali ditolak
oleh white karena itu artinya sama saja dengan memberikan beban kepada amerika
untuk menyediakan dollar setara dengan jumlah total seluruh hak mengambil
kembali simpanan Negara lain dalam ISF.
namun demikian usulan Keynes tentang currency akhirnya malah
disisipi dalam IMF (internasional monetary fund). Hal ini dikarenakan
perdebatan ulang tentang pentingnya perdagangan internasional dan menumbuhkan
sifat keterbukaan antar Negara yang pada waktu masih tegang akibat baru
berakhrinya masa perang dunia ke II. Maka dengan ini era FIXED exchange rate regime mulai menggema dan menjadi hasil
keputusan Bretton woods dan disepakati oleh banyak Negara berdasarkan alasan –
alasan diatas, Keynes sukses menanamkan idenya tentang currency exchange yang
pada akhirnya tertuang pada IMF.
Sehingga pada akhirnya hampir seluruh dunia pada saat itu
mengikuti perjanjian yang telah dibuat dalam Bretton Woods, termasuk tentang
fixed exchange rate.
INDONESIA VS MALAYSIA
“inflation is always and everywhere a
monetary phenomenon (Friedman 1968:39)”
Indonesia adalah salah satu Negara yang baru saja merdeka
kala itu pada tahun 1945. Sehingga dalam pembentukan pola ekonominya, Indonesia
secara bertahap mengikuti pola persetujuan sebagaimana ditetapkan dalam
perjanjian Bretton Woods termasuk diantaranya tentang fixed exchange rate pada
oktober 1978. Hingga pada tahun 1997 indonesia terkena dampak krisis asia yang berasal
dari Thailand. Akibat dari kerasnya dampak krisis ini pada agustus 1997
indonesia terpaksa membebaskan nilai tukar rupiahnya terhadap valuta asing.
Indonesia mencoba menyelamatkan diri dengan cara mengganti regime exchange
ratenya yang semula mengikuti pola Bretton Woods menjadi floating dan
membiarkan rupiah berfluktuasi secara bebas dipasar.
Perubahan ini dimaksudkan untuk menjaga nilai volatility yang
makin tak karuan kala itu kembali stabil (strumn and Hann, 2000). Pendapat ini
kemudian didukung oleh Miranda Gueltom, selaku ekonom ia mengatakan bahwa
“tingkat volatility akan lebih besar dialami oleh Negara yang mengalami fixed
exchange rate” [6]Dengan
demikian Indonesia tidak lagi menerapkan system fixed exchange rate
Permasalahan timbul di para spekulan investor. Karena
perubahan system ini bank Indonesia mulai kehilangan kepercayaanya terhadap public
serta diperparah kepanikan public yang belum terbiasa dengan system floating
exchange rate mengakibatkan nilai rupiah merosot drastic dari Rp2000/dollar
hingga menyentuh level Rp16.000/dollar. Krisis asia 1997 bagi Indonesia adalah sebab
kemerosotan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat cepat dan tajam,
meskipun masih banyak factor pendukung lainnya”. hal ini mengakibatkan deficit
neraca berjalan dan utang luar negeri (Nasution:28).[7]
Demikian pilihan Indonesia dalam
mengganti regime exchange rate tersebut juga masih penuh dengan pro dan kontra.
Namun hal berbeda terjadi pada Negara tetangga kita, Malaysia. Meski dilanda
krisis yang sama, Malaysia kala itu tidak serta merta saja mengganti regime
exchange rate yang ia miliki kedalam free floating exchange rate layaknya yang
dilakukan oleh Indonesia.
Pada saat itu Malaysia memiliki ciri –
ciri dan kejadian yang sama persis dengan Indonesia, lebih parah lagi Malaysia
kala itu mengalami deficit keuangan yang lumayan besar sebelum terjadinya
krisis, yakni sebesar 5% dari GDP, Pada saat itu pula Malaysia adalah salah
satu tujuan investasi asing terbesar di asia. Sadar akan hal ini Mahatir
Muhammad selaku orang yang bertanggung jawab atas perekonomian Malaysia
mengambil tindakan yang berbeda, bukan malah merubah exchange rate regime
seperti indonesa mahatir Muhammad malah focus pada kebijakan Capital control [8]Malaysia,
selain itu ia juga menekankan Ringgit pada nilai 3.8/dollar dan menaikkan
interest rate berlahan lahan[9].
Pemikiran mahatir ini terbukti tepat,
dengan adanya kebijakan ini Malaysia berhasil melawan para spekulan yang
mencoba bermain dengan nilai dollar, lebih dari itu beberapa total asset yang
seharusnya lenyap berhasil diselamatkan. Namun sayang pada tahun 1998 Malaysia
tak mampu lagi menahan krisis Asia yang ditularkan oleh Thailand. Segala
kebijakan yang tengah dibuat menjadi rontok dan para spekulasi kembali lagi
memainkan perannya. Ringgit kehilangan 50% nilalinnya
INDONESIA MASA 2013
setelah memasuki masa tenang dalam 10 tahun terakhir,
Indonesia pada akhirnya berhasil bangkit dalam keterpurukan yang amat dalam.
Selama beberapa tahun belakang Indonesia konstan berada pada pertumbuhan
ekonomi di level 6%. Semua Nampak baik – baik saja dengan level nilai tukar
Rp9000/dollar. Namun demikian hal tak terduga terjadi, di penghujung tahun 2013
indonesia kembali mengalami guncangan. Akibat nilai tukar yang dibiarkan bebas
di pasar, exchange rate Indonesia malah merosot kembali pada level
Rp.12000/dollar
hingga kini bank Indonesia terus menaikkan tingkat suku
bunganya sampai dengan level 7.5%. beberapa ekonom mulai menduga beberapa
penyebabnya. Ada yang berpendapat bahwa ini adalah akibat FED yang mulai
menarik bantuan moneternya pada pemerintahan Amerika ada pula yang berpendapat
bahwa keadaan ekonomi Indonesia yang memang tidak siap. Diluar apapun itu
Indonesia kembali mengalami pertanyaan. Haruskah
FIX atau FLOAT?
Akhirnya kesemua ini memang merupakan trade off. Setiap
regime merupakan opportunity cost dari regime yang lainnya. Yang bisa dilakukan
Negara adalah bertindak tenang dengan mempertimbangkan segala aspek ekonomi
yang ada sesuai dengan situasi dan kondisi serta tujuan Negara tersebut. Karena
sejatinya setiap regime akan mempengaruhi ekpektasi masyrakat pada nilai
inflasi. Exchange rate dengan niali yang lebih rigit memang akan membuat
pemerintah mudah dalam mengendalikan ekspektasi inflasi dan pertumbuhan
ekonomi, akan tetapi dalam waktu bersamaan mereka juga akan mengalami resiko
kesulitan penggunaan kebijakan makroekonomi, serta penambahan resiko terjadinya
krisis[10]
REFRENSI
·
Reinhart, Carmen M
dan Kenneth S. Rogoff. 2009. This time is different. Eight centuries of
financial folly Chp 1 varieties crisis and their dates. Princeton : Princeton
University Press
·
Mishkin, Frederic S
. 2004. The economics money, bankinf, financial markets 7th”. USA.
Pearson
·
[1]Mikesell,
Raymond F (1994). “the Bretton woods debates a memoir”.departement of economics
Princeton university. New jersey.
http://www.princeton.edu/~ies/IES_Essays/E192.pdf
·
Gueltom, Miranda
S., Indonesia under the Free Floating
Exchange Rate System, Essays in Macroeconomic Policy: The Indonesian
Experience, Ch. 12.
·
Nasution, Anwar.
1997. “Lessons from the Recent Financial Crisis in Indonesia”,
makalah
pada “1997 Economics Conference”, diselenggarakan bersama oleh USAID, ACAES,
LPEM-FEUI, Jakarta,
17-18 Desember
·
Hsing, YU. 2008. “ is the monetary policy rule responsive to exchange
rate changes? The case of Indonesia, Malaysia, the Philippines, and Thailand.
Springer-verlag 2009
·
Ghosh, atish R and ostry, joanthan D (2009)”choosing an exchange rate
regime”.finance and development
Informasi akses : diakses pada 14 Desember 2013.
ttp://www.henciclopedia.org.uy/autores/Khor/Malaysia.htm
[1]
Disampaikan dalam konfrensi Bank Norges 7 maret 2008 : http://search.proquest.com/docview/469475507/fulltext/14259FBA82249E28AD6/5?accountid=17242
[2]
Bank sentral amerika
[3]
Reinhart, Carmen M dan Kenneth S. Rogoff. 2009. This time is different. Eight
centuries of financial folly Chp 1 varieties crisis and their dates. Princeton
: Princeton University Press
[5]
Mikesell, Raymond F (1994). “the Bretton woods debates a memoir”.departement of
economics Princeton university. New jersey. http://www.princeton.edu/~ies/IES_Essays/E192.pdf
[6]
Gueltom, Miranda S., Indonesia under the Free Floating Exchange Rate
System, Essays in Macroeconomic Policy: The Indonesian Experience , Ch.
12.
[7]
Nasution, Anwar. 1997. “Lessons from the Recent Financial Crisis in Indonesia”,
makalah pada “1997 Economics Conference”,
diselenggarakan bersama oleh USAID, ACAES,
LPEM-FEUI, Jakarta, 17-18 Desember.
[9] Hsing, YU. 2008. “ is
the monetary policy rule responsive to exchange rate changes? The case of
Indonesia, Malaysia, the Philippines, and Thailand. Springer-verlag 2009
[10]
Ghosh, atish R and ostry, joanthan D (2009)”choosing an exchange rate
regime”.finance and development
1 komentar:
Harrah's Cherokee Casino & Hotel - KT Hub
Featuring 5 restaurants 부천 출장샵 and 2 bars, Harrah's 군포 출장마사지 Cherokee Casino 계룡 출장샵 & Hotel is strategically 화성 출장샵 located near Harrah's Cherokee 경상남도 출장마사지 Casino & Hotel. Located on
Posting Komentar