Sumber gambar : development.web.id/standard- kemiskinan-yang-tidak-masuk-akal.html |
Kemiskinan menjadi
salah satu indicator pembangunan sebuah negara, sukses atau tidaknya sebuah
program pembangunan pemerintah untuk membangun negara dapat dinilai dari seberapa banyak masyrakat yang
selamat dari jeratan “garis kemiskinan”.
BPS (Badan Pusat Statistik) sendiri sudah mengikuti kode etik PBB dalam
menyusun laporan statistic yang ada di Indonesia, termasuk kemiskinan.
Oleh karenanya,
disadari salah satu aspek penting dalam menanggulangi kemiskinan adalah
tersedianya data kemiskinan yang tepat itu sendiri. Karena dengan data yang
akurat, pemerintah tentu dapat dengan lebih leluasa untuk mengambil dan
menentukan tiap kebijakan yang akan berlaku didaerahnya, dan kebijakan
kemisikinan salah satunya. Membandingkan data kemiskinan dari waktu kewaktu,
daerah satu dan daerah lainnya juga tak luput dari aspek penting dalam
menentukan target untuk memperbaiki kualitas hidup mereka.
Diluar dari itu,
“garis kemiskinan” masing – masing daerah memiliki standar yang berbeda - beda.
Ini dikarenakan tingkat pemenuhan kebutuhan pokok (basic need approach ) yang
dijadikan standar pengukuran utama berbeda pula ditiap daerahnya. Ini pula
jawaban mengapa standarasisasi kemiskinan “kota” berbeda dengan “desa”.
Kemiskinan bukan hanya masalah persentasi dan
jumlahnya, akan tetapi juga memikirkan tingkat keparahan dan “kedalaman”-nya
(P). artinya kemiskinan tak hanya memikirkan pengurangan jumlahnya, namun juga
mengurangi tingkat keparahannya sehingga kulaitas dan standar masyrakat itu
sendiri terus mengalami peningkatan.
Jika kita melihat
data statistic tingkat kemiskinan serta tingkat kedalamnya, dapat kita lihat
kenaikan dan penurunan data. Hal ini sesuai dengan basic need yang menjadi standar pengukuran kita, yakni seberapa
besar daya beli masyrakat terhadap bahan pokoknya (beras, gula pasir, telur,
minyak tanah, minyak kelapa, mie instan dll). Contohnya pada September 2006,
tingkat kemiskinan meningkat sebesar 3,95
juta orang artinya ada transfer posisi penduduk miskin. Ini disebabkan
bergesernya garis kemiskinan yang semula sekitar Rp. 129.000 menjadi sekitar
153.000 (18,39%).
Kesemuanya ini tak
lepas dari naiknya inflasi (17,95%) ditahun tersebut. Kenaikan harga beras,
minyak tanah, telur dan mie instan juga turut mendapat andil dalam masalah ini.
Intinya kebutuhan pokok yang menjadi standar garis kemiskinan naik sehingga
masyrakat kehilangan daya belinya dan jatuh kebawah garis kemiskinan.
Berbanding terbalik dengan data di maret tahun 2009 dimana angka kemiskinan
turun 2,43 juta. Hal ini juga tak lepas dari inflasi (7,92%) yang relative
lebih rendah dan stabil serta harga komidi pangan pokok (beras nasional) yang
memiliki tingkat kecenderungan baik akibat panen raya ditahun tersebut
Kesimpulannya
kemiskinan merupakan suatu kondisi dimana orang tak mampu memenuhi kebutuhan
hak dasarnya untuk menjalankan dan mempertahankan kehidupan yang bermatabat.
Kemiskinan bisa diukur melalui “garis kemiskinan” dan “tingkat kedalamana kemiskinan”.
Jadi kesemuanya ini tergnatung dari seberapa mampu seseorang memenuhi kebutuhan
pokoknya seperti beras, minyak, telur, mie instant dll. Garis kemiskinan juga
turut terpengaruh oleh tingkat inflasi, oleh karenanya jumlah orang miskin juga
akan sangat tergantung pada tingkat inflasi di tahun bersangkutan. Jadi tingkat
kemiskinan ditahun depan akan bergantung pada tingkat inflasi serta harga
bahan pokok (basic need) dimasa yang akan datang. Sehingga jika pemerintah
ingin mengurangi tingkat kemiskinan bisa dengan cara menjaga tingkat inflasi,
memastikan kestabilan harga bahan pokok, menjamin ketersediaanya sehingga pada
akhirnya garis kemiskinan nasional dapat turun dan jumlah kemiskinanpun akan
otomatis turun karena terjadi transfer kemiskinan
1 komentar:
salam gan ...
menghadiahkan Pujian kepada orang di sekitar adalah awal investasi Kebahagiaan Anda...
di tunggu kunjungan balik.nya gan !
Posting Komentar