Minggu, 22 April 2012

INDIKATOR KEMISKINAN


Sumber gambar :  development.web.id/standard-
kemiskinan-yang-tidak-masuk-akal.html
Kemiskinan menjadi salah satu indicator pembangunan sebuah negara, sukses atau tidaknya sebuah program pembangunan pemerintah untuk membangun negara dapat  dinilai dari seberapa banyak masyrakat yang selamat dari jeratan “garis kemiskinan”.  BPS (Badan Pusat Statistik) sendiri sudah mengikuti kode etik PBB dalam menyusun laporan statistic yang ada di Indonesia, termasuk kemiskinan.

Oleh karenanya, disadari salah satu aspek penting dalam menanggulangi kemiskinan adalah tersedianya data kemiskinan yang tepat itu sendiri. Karena dengan data yang akurat, pemerintah tentu dapat dengan lebih leluasa untuk mengambil dan menentukan tiap kebijakan yang akan berlaku didaerahnya, dan kebijakan kemisikinan salah satunya. Membandingkan data kemiskinan dari waktu kewaktu, daerah satu dan daerah lainnya juga tak luput dari aspek penting dalam menentukan target untuk memperbaiki kualitas hidup mereka.

Diluar dari itu, “garis kemiskinan” masing – masing daerah memiliki standar yang berbeda - beda. Ini dikarenakan tingkat pemenuhan kebutuhan pokok  (basic need approach ) yang dijadikan standar pengukuran utama berbeda pula ditiap daerahnya. Ini pula jawaban mengapa standarasisasi kemiskinan “kota” berbeda  dengan “desa”.

 Kemiskinan bukan hanya masalah persentasi dan jumlahnya, akan tetapi juga memikirkan tingkat keparahan dan “kedalaman”-nya (P). artinya kemiskinan tak hanya memikirkan pengurangan jumlahnya, namun juga mengurangi tingkat keparahannya sehingga kulaitas dan standar masyrakat itu sendiri terus mengalami peningkatan.

Jika kita melihat data statistic tingkat kemiskinan serta tingkat kedalamnya, dapat kita lihat kenaikan dan penurunan data. Hal ini sesuai dengan basic need yang menjadi standar pengukuran kita, yakni seberapa besar daya beli masyrakat terhadap bahan pokoknya (beras, gula pasir, telur, minyak tanah, minyak kelapa, mie instan dll). Contohnya pada September 2006, tingkat kemiskinan meningkat sebesar 3,95  juta orang artinya ada transfer posisi penduduk miskin. Ini disebabkan bergesernya garis kemiskinan yang semula sekitar Rp. 129.000 menjadi sekitar 153.000 (18,39%).

Kesemuanya ini tak lepas dari naiknya inflasi (17,95%) ditahun tersebut. Kenaikan harga beras, minyak tanah, telur dan mie instan juga turut mendapat andil dalam masalah ini. Intinya kebutuhan pokok yang menjadi standar garis kemiskinan naik sehingga masyrakat kehilangan daya belinya dan jatuh kebawah garis kemiskinan. Berbanding terbalik dengan data di maret tahun 2009 dimana angka kemiskinan turun 2,43 juta. Hal ini juga tak lepas dari inflasi (7,92%) yang relative lebih rendah dan stabil serta harga komidi pangan pokok (beras nasional) yang memiliki tingkat kecenderungan baik akibat panen raya ditahun tersebut

Kesimpulannya kemiskinan merupakan suatu kondisi dimana orang tak mampu memenuhi kebutuhan hak dasarnya untuk menjalankan dan mempertahankan kehidupan yang bermatabat. Kemiskinan bisa diukur melalui “garis kemiskinan” dan “tingkat kedalamana kemiskinan”. Jadi kesemuanya ini tergnatung dari seberapa mampu seseorang memenuhi kebutuhan pokoknya seperti beras, minyak, telur, mie instant dll. Garis kemiskinan juga turut terpengaruh oleh tingkat inflasi, oleh karenanya jumlah orang miskin juga akan sangat tergantung pada tingkat inflasi di tahun bersangkutan. Jadi tingkat kemiskinan ditahun depan akan bergantung pada tingkat inflasi serta harga bahan  pokok (basic need) dimasa yang akan datang. Sehingga jika pemerintah ingin mengurangi tingkat kemiskinan bisa dengan cara menjaga tingkat inflasi, memastikan kestabilan harga bahan pokok, menjamin ketersediaanya sehingga pada akhirnya garis kemiskinan nasional dapat turun dan jumlah kemiskinanpun akan otomatis turun karena terjadi transfer kemiskinan

1 komentar:

Outbound di Malang mengatakan...

salam gan ...
menghadiahkan Pujian kepada orang di sekitar adalah awal investasi Kebahagiaan Anda...
di tunggu kunjungan balik.nya gan !