Sabtu, 28 Desember 2013

LIRIH NILAI PANCASILA : TINJAUAN ULANG TRAGEDI AMBON 1999


sumber gambar: http://watatita.wordpress.com
Jika Indonesia terkadang membingungkan, itu karena nasionalisme disini mengandung sebuah paradox, jika ia menyebabkan kita merasa akrab dengannya, itu juga karena paradox yang sama. Ia menyatakan pendapat yang partikular tapi juga menghimbau ke yang universal”[1]

LATAR BELAKANG : Sendu Pancasila
B
egitulah seuntai kalimat pembuka dari Gunawan Mohammad selaku penulis senior Indonesia. Nasionalisme kita paradox. Makin tidak jelas terombang – ambing samudera luas, tidak tahu mau kemana, sang Nahkoda kapal juga bingung apalagi awaknya. Pancasila ibarat lampu suar sudah seyogyanya memberikan arahan bagi kapal – kapal Indonesia untuk kembali pulang ke tanah air tercinta, sebagai “guidline” pedoman utama mereka yang senantiasa membimbing kita pada tanah air nasionalisme itu sendiri. Atau sebagai rel kereta yang setia menunjukkan, mengarahkan, membimbing dan membatasi gerak masinis sehingga jelas arah dan tujuan perjalan kereta.

Nasionalisme bukan hanya sekedar cinta tanah air. Tapi juga merasa senasib sepenanggungan, mau melihat sanak saudara dibelahan pulau beda, saling membantu, serta menolong satu sama lain. Persis sila ketiga “Persatuan Indonesia”. Bukannya Indonesia pun lahir oleh sebab luka yang sama? Perasaan senasib setelah 3 abad dikekang oleh bangsa lain, dirampas seluruh kekayaanya, batin, jiwa, raga, serta tanah dan isi – isinya. Bukankah ini alasan utama para pejuang kita meruncingkan bambunya? Padahal Jika kita mau menilik lebih jauh kalimat pembuka diatas akan ada makna kata “universal”, milik bersama. Memang benar nasionalisme lahir dari individu – individu yang berbeda namun itu semua untuk kepentingan bersama. Kepentingan tanah air

Mau tidak mau, suka tidak suka Pancasila adalah harga mati bagi nasionalisme Indonesia. Mengapa demikian? Selain karena alasan diatas, pancasila merupkan suatu nilai yang lahir dari banyak Founding Father bangsa. Nilai – nilai yang terkandung didalamnya adalah nilai murni yang belum terkikis oleh derasnya arus zaman. Nilai yang terbentuk dari semangat “Nasionalisme” MEMPERSATUKAN BANGSA. Tak ada lain nafsu para Founding Father kala itu, selain daripada mempersatukan Nusantara dalam nama Indonesia, dalam warna Merah – Putih, dan dalam naungan ibu pertiwi. Sebab itu ada kalimat “Bhineka Tunggal Ika” pada Garuda yang bertanggar di gedung – gedung Negara.

Namun demikian terenyuh batin ini ketika mengingat fakta yang terjadi sekarang.  “… warisan luhur yang dipuji berbagai tokoh dunia itu dianggap sudah apak-basi…. Dianggap tidak relevan. (pancasila) tidak hanya dihayati, dihafalkan anak sekolah pun tidak, apalagi dipraktikkan dalam praksis kehidupan bernegara dan bangsa” ( St.Sularto:2010)[2] . yak benar! Warisan luhur kita ini mulai tak dianggap, banyak masyrakat Indonesia yang mulai tak paham dengan nilai asli Pancasila. Lebih dari itu upaya perwujudan nilai – nilai pancasila selama ini terkesan setengah hati, … “kalaupun dibahas malah semakin dijauhkan, diletakkan di ruang – ruang sempit dan pengap, jauh dari pesona panggung, yang memang dibajak oleh para petualang politik yang hidup dari oportunitas harian… lebih tidak adil lagi jika pancasila sampai dijadikan kambing hitam atas segala kemacetan dalam bidang social, politik, ekonomi dan keamanaan selama ini” (Rikard Bagun: 2010).[3]

Padahal kita sadar sendiri pengaruh sebuah bangsa yang mulai kehilangan dasar Negara (Pancasila)nya. Lebih – lebih macam Republik pluralistic ini, bisa terancam tamat dan bubar jika tidak ada ukuran dan acuan berpikir serta berperilaku satu. Sepenting itukah pancasila? Ya sepenting itu! Kehilangan dasar Negara sama saja dengan rumah yang kehilangan tiangnya, ia akan ambruk, jatuh lantas roboh tak berbekas

Tidak ada lain selain nilai - nilali pancasila yang menjadi ikatan bagi masyrakat Indonesia, sebuah perekat yang menyatukan keberagaman sabang – marauke, miangas – rote. Maka ketika nilai – nilai ini telah terkikis dan tak lagi diindahkan maknanya tak terpikirkan yang akan terjadi pada Republik ini. Dan pembiaran segala perilaku – perilaku bangsa yang mengarahkan kita pada kondisi ini bisa saja kita artikan sebagai kelengahan social, ya?


TEORI IKATAN SOSIAL - EKONOMI : Dasar pemikiran
Dipandang dari segi manapun ekonomi dan masurakat selalu berhubung. Dalam persamaan teori klasik ekonomi, dikatakan sebuah pendapatan Negara (Y) adalah total dari penjumlahan konsumsi (C), investasi (I), Government expenditure (G), dan trade balance (NX)[4]. Disebutlah konsumsi sebagai salah satu komponen pendapatan nasional. Jumlah konsumsi ini tergantung dari jumlah penduduk suatu wilayah, demikian besar kecilnya penduduk mempengaruhi variable konsumsi. Sehingga penting bagi kita untuk menghitung jumlah penduduk terlebih dahulu sebelum menetapkan besarnya variable konsumsi. Di Indonesia penghitungan jumlah penduduk yang berkala di sebut dengan istilah Sensus Penduduk (SP).

Tidak hanya itu, berdasarkan ilmu demografi jumlah penduduk suatu wilayah dapat dipengaruhi oleh beberapa factor. Yakni Fertilitas (kelahiran), Mortalitas (kematian), Migrasi masuk, dan migrasi keluar. Keempat variable ini turut menentukan jumlah penduduk disautu wilayah[5]. Sehingga jelas nanti dampak dari pengurangan dan penambahan dari tiap – tiap variable bagi pendapatan Negara.

Lebih lanjut dijelaskan ada tiga variable penentu nasib bangsa Yakni demografi, sejarah, dan geografi[6]  (Dorodjatun:2012). Bentuk demografi penting mempengaruhi income suaut wilayah, demikian juga dengan demografi dan sejarah wilayah itu sendiri. Salah satu contoh kesempatan masa depan yang dapat diraih Indonesia dalam masa depan adalah “windows of opportunity” yakni kondisi dimana golongan muda akan lebih banyak dan produktif dibanding dengan golongan non – produktif ( tua dan anak – anak)

Namun demikian semua proyeksi pertumbuhan ekonomi diatas tidaklah berarti apa – apa jika masyrakat yang dimaksud tidak dapat berjalan secara beriringan. Bagaimana bisa suatu wilayah maju jika selalu saja ada pertikaian diantaranya. Karenanya suatu ikatan social ( Pancasila ) penting bagi Indonesia untuk menjamin keselarasan tersebut.

“Law of Peoples” lebih lanjut menyatakan bahwa masyrakat sudah sepatutnya mematuhi segala peraturan yang berlaku, mengerti bahwa seluruh masyrakat adalah memiliki kesamaan hak, menolak segala bentuk KEKERASAN kecuali untuk melindungi diri dan senantiasa menghormati hak asasi manusia. [7] mengapa harus demikian? Karena pada hakikat sederhananya manusia adalah makhluk social, yakni makhluk yang hidup secara berkelompok dan tak mampu hidup sendiri. Mereka hidup dengan membentuk grup – grup untuk MEMECAHKAN MASALAH BERSAMA, memaknai arti hidup , hingga sampai dengan menghabiskan waktu bersama untuk bersenang – senang. Kesemuanya adalah kegiatan dan pengalaman manusia sesuai dengan hakekatnya[8]

Kesemuanya ini kemudian didukung oleh dua peneliti politik dan ekonomi Robinson dan Acemoglu[9]. Mereka telah melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwasanya kegagalan suatu Negara lebih sering disebabkan oleh dua sebab, Politik dan Ekonomi. Dua factor utama inilah yang kemudian menyebabkan suatu Negara menemui kemunduran

Demikian dasar pemikiran yang telah terkumpul. Baik dari segi social dan ekonomi dapat kita katakan adalah sebuah satu kesatuan. Seberapa baik asumsi – asumsi yang didirikan oleh para ekonom tidak akan berhasil apabila tak didukung ikatan social yang baik. Dan manusia sebagai makhluk social sudah sepatutnya sadar dan mendukung hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam hukum Law of people’s

KONFLIK SOSIAL : Studi kasus tragedy Ambon 1999
"Yang jelas merah putih harus berkibar di seluruh tanah air, itu bendera kita dan daerah bisa saja memiliki lambang tetapi sesuai ketentuan yang berlaku, ketentuan Undang-undang, semangat serta jiwa bahwa hanya ada satu bendera kedaulatan kita, yaitu sang merah putih," _( Susilo Bambang Yudhoyono)[10]

Kalimat diatas terlontar oleh orang besar bangsa ini, bapak Yudhoyono. Presiden Indonesia ini mulai mencak – mencak ketika mendapat laporan tentang Gerakan aceh merdeka yang masih belum rampung – rampung juga. permasalahan nilai pancasila memang belum terpecahkan hingga sekarang. Masih juga jadi bobot dan momok bangsa.

Kita tidak membicarakan konflik GAM yang terjadi di Aceh beberapa tahun lalu. Jauh sebelumnya, kira – kira 14 tahun silam di kepulauan Maluku terjadi konflik yang lebih berdarah. Hanya dalam waktu kurang dari satu tahun ribuan orang dilaporkan meninggal dunia, ratusan orang luka – luka, belum lagi kasus penculikan, perusakan barang public dan kasus perkosaan. Menambah rusuh kota kecil itu

Banyak masyrakat menyebutnya dengan tragedy Ambon 1999. Dinamai ambon karena memang disanalah pusat konflik antarwarga yang terbesar. Kekeacauan di salah satu Provinsi tertua Indonesia ini menemui titik puncaknya kala dua golongan islam dan Kristen mulai saling – serang, tak tanggung – tanggung senjata yang digunakan mulai dari senjata tajam hingga senjata api rakitan. Senjata – senjata berbahaya yang mampu penghilangkan nyawa manusia dalam sekejap.

Menurut Zulkipli dalam thesisnya, tragedy ini semakin menjadi – jadi oleh sebab gagalnya mediasi antara kedua belah pihak, dan pemerintah sebagai pihak fasilitatornya pantas untuk dinyatakan gagal, mengapa?[11] Karena dalam penentuan keputusan perjanjian terdapat indikasi pemerintah cenderung memihak suatu golongan. Pemerintah tidak netral. Kedua dalam diskusi persidangan sang pemerintah juga tidak focus pada akar kasus permasalahan, sehingga perdebatan menjadi panjang dan melelahkan. Oleh karenanya dalam thesis tersebut sang penulis mengajukan NGO’s ( Non Governmental organization ) sebagai fasilitator dan penengah netral antara kedua kubu tersebut. Karena berdasarkan penilitian dia pihak ini lah yang mampu memecahkan ketegangan antara kedua belah pihak dengan lebih efisien

Namun apa yang sebenarnya terjadi pada Ambon kala itu? Mengapa hingga bisa timbul perpecahan dan kengerian seperti itu. Peristiwa ini mungkin tak diketahui banyak pemuda sekarang, karena tragedy ini hamper bertepatan dengna peristiwa besar lainnya yang menimpa Indonesia kala itu. Yakni bencana krisis moneter.

Demikian peristiwa ini tetap saja merupakan sebuah aib dan sebuah pelajaran besar bagi Negara muda ini. Pelajaran yang harus dibayar oleh ribuan nyawa. Untuk mengetahui lebih jelas tentang peristiwa yang terjadi mari kita mulai dari awal terbentuknya tragedy ini.

Pertama, “tidak ada yang mengira bahwa pertikaian antara warga ambon Jopie siya dan Fery Mual (keturunan ambon) dengan Usman dan Rasid Walla (keturunan Buton, bugis, dan makassar) yang terjadi di depan bioskop Victoria di perbatasan batu merah – mardika ambon pada 19 januari 1999 yang bertepatan dengan hari idul fitri satu syawal 1419 H,  berubah menjadi pertikaian dua kelompok besar. Mereka saling serang dan membakar rumah penduduk, mobil , dan barang public lainnya serta menyebabkan korban jiwa”[12]. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan idul fitri berdarah

Hal ini terjadi karena terdapa desas desus isu SARA, yakni pengusiran kaum BBM (Batak, Bugis, Makassar) dari ambon sontak terdengar keras kala itu. Anehnya isu ini justru tersebar duluan dari kalangan Kristen, ada isu yang mengatakan bahwa doktirin ini malah berasal dari gereja. Tragedy idul fitri berdarah ini juga memiliki sebab akibat lain, yakni pemulangan 200 preman ambon dari Jakarta, peristiwa Wailite ( 13 desember 1998), peristiwa air bak ( 27 Desember 1998) dan peristiwa dobo (19 Januari 1999), hal ini kemudian dibenarkan juga oleh zulkipli.
Pada peristiwa wailite terjadi penyerangan besar – besaran pada penduduk sekitar. Masyrakat wailite yang mayoritas adalah BBM diserang habis – habisan oleh kampong hative basar (Kristen). Dengan bersenjatakan batu para penyerang tersebut membakar beberapa rumah warga wailite sehingga menyebabkan masyrakat wailite harus diusingkan ke tempat aman selama beberapa hari. Tidak ada kejelasan kembali tentang peristiwa ini, polisi juga Nampak ragu menginvestigasi, hingga pada akhirnya kaum Hative basar mengumumkan bahwa mereka tidak akan menerima kembali kaum BBM kembali ke desa wailite

Peristiwa air bak adalah peristiwa dimana hanya terdapat 8 penduduk muslim di desa tersebut. Konflik terjadi tatkala kaum muslim berusaha mengusir babi yang memasuki kebun mereka, hal ini memicu kemarahan kaum Kristen hingga terjadi aksi pelemparan batu. Tak ada penyelesaian kasus juga, warga muslim malah ditahan polisi.

Peristiwa yang terkahir adalah peristiwa Dobo. Peristiwa ini paling layak disebut sebagai cikal bakal terjadinya tragedy ambon. Bagaimana tidak pada kejadian kali ini dilaporkan lebih dari 10 korban meninggal dunia. Penyerangan lagi lagi dilkakuan oleh kaum Kristen. Selepas shalat idhul ied secara tiba – tiba terjadi penyerangan, korban jiwa diantara kedua belah pihak pun tak terelakkan. Selain korban jiwa terdapa juga peristiwa pembakaran puluhan rumah warga muslim yang terjadi di hari yang sama.

Rentetan 3 peristiwa diatas seolah – olah memang terlihat seperti terorganisir dan direncana, dimana para umat Kristen memang ingin mengusir kaum muslim BBM pergi dari Ambon dan Maluku. 3 peristiwa ini pulalah yang menjadi dasar dari terpecahnya tragedy idul fitri berdarah pada 19 januari 1999.

Kedua, hari – hari setelah januari  1999 terus dihadapai dengan pertumpahan darah. Dari hari kehari jumlah penyerangan yang terjadi dan korban yang berjatuhan makin banyak. Kali ini berita dan data berdasarkan catatan oleh MUI daerah setempat. Ada beberapa kejadian besar setelah bulan januari ini, yakni : peristiwa pengundangan makan bersama oleh panitia “damai” kepada warga muslim. Namun ternyata undangan makan tersebut hanyalah kedok semata, warga Kristen justru datang dengan persenjataan lengkap seperti panah, tombak dan lain – lain. Sehingga tempat yang awalnya dijadikan tempat untuk berdamai tersebut malah berubah menjadi medan pertempuran

Kemudian pada 4 Februari terjadi 3 kali penyerangan dalam sehari, penyerangan pertama dilakukan selepas umat islam megadakan shalat subuh. Kali ini korban banyak berjatuhan dari kalangan buton. Sebanyak 7 orang meniggal akibat serangan tersebut, salah satunya adalah anak – anak. Serangan kedua dilakukan jam 07.00 pagi, pembuat rusuh namun kemudian berhasil melarikan diri kedalam hutan. Pada peristiwa ini banyak kerusakan yang terjadi pada rumah penduduk. Kemudian tidak henti sampai disitu, pada pukul 10.00 WITA rumah – rumah penduduk mulai diserang satu per satu, dimulai dari lokasi yang terdekat dengan hutan

Jangan kira kerusuhan ini hanya berkisar pada panah, tombak, dan senjata rakitan saja. Dalam catatanya MUI local juga mencatat banyak peristiwa ledakan dan serangan BOM. Pada tanggal 14 terjadi pembataian juga di kepulauan Haruku, Maluku Tengah. Kali ini ada peristiwa mengejutkan lain, yakni turut terlibatnya beberapa aparat dalam proses penyerangan ini, belasan warga muslim terbunuh dan 40 lebih luka berat akibat terkena tembakan dan ledakan granat

Pada tanggal 23 Februari puluhan bom kembali dimuntahkan ke perkampungan yang mayoritas penduduk muslim di kota madya Ambon batu merah. Peristiwa ini menyebabkan banyak korban jiwa pula. Puluhan rumah rusak dan banyak korban luka – luka. Bahkan hingga maret 1999 peristiwa penyerangan – penyerangan serupa masih sering terjadi, tak pengap warga muslim di Provinsi ini menjadi merasa tak aman. atpemerintah yang terlalu besar dan koordinasi yang kalah rapi. Sehingga banyak dari mereka yang untuk sementara memutuskan untuk mengungsi dan pindah ketempat lain

Berdasarkan catatan MUI dan tim investigasi memang kerusuhan ini hingga bulan agustus 1999. Dan serangan yang terjadi serupa pula dengan cerita – cerita diatas, tak berbeda jauh. Warga muslim BBM masih saja terus diserang dan diancam untuk pergi dari Ambon. Banyak orang kala itu yang mengira pula kejadian ini sebagai salah satu bentuk era Reformasi di Ambon dimana banyak orang masih salah kaprah menanggapi makna arti “kebebasan” dan demokrasi


DAMPAK KASUS : Dalam aspek Ekonomi – Politik
Identitas dapat dikatan ibarat kain yang menutup ketelanjangan diri: bila demikianlah halnya, paling baik bila kain itu dikenakan longgar, sedikit seperti jubbah di padang pasir, yang masih bisa  menyebabkan keterlanjangan itu dirasakan, dan, kadang – kadang dapat ditilik(James Baldwin, The price ticket[14])

Identitas Maluku sudah tidak jelas, morat marit ndak karuan. Perpecahan antar umat beragama dan golongan makin terasa. Masyrakat mereka gagal paham memaknai arti perbedaan, arti persatuan, hanya ada kepentingan individu dan atau golongan. Kembali saya mengingatkan disini bahwa bisa saja mereka kita artikan tak meresapi indahnya nilai nilai pancasila, indahnya makna kata “Persatuan Indonesia”.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, tak perlulah saya mengingatkan anda kembali tentang masyrakat yang mulai melupakan dasar negaranya. Akibatnya benar nyata! Terjadi kemunduran perekonomian bagi Provinsi Maluku, hal ini disebabkan oleh karena berkurangnya masyrakat Maluku yang menopang roda kehidupan Provinsi tua ini

Banyak masyrakat BBM Muslim yang pada akhirnya memilih untuk meninggalkan Maluku dan ambon. Hal ini mereka lakukan untuk menyelamatkan nyawa mereka masing – masing, sebuah tindakan logis. Kepergian mereka ini tentu meninggalkan banyak tempat kosong dalam beberapa pekerjaan. Untuk sementara beberapa peran penting dalam provinsi ini ikut hilang terbawa kabur besera orangnya ke luar Maluku. Hal ini ditandakan dengan penurunan tajam netto migrasi provinsi Maluku di tahun 1999

Tidak hanya itu pula, perekonomian Maluku yang salah satunya di pompa oleh variable konsumsi (C) ini juga mulai menapakkan pengerdilan nilai. Maka ketika beberapa sector penting telah mati dan tingkat konsumsi juga menurun,makin mengecil pulalah pendapatan nasional Maluku. Lebih dari itu, kunjungan turis pariwisata juga turun secara drastic baik lokal dan non – lokal. Padahal provinsi yang 90% lebih terdiri atas lautan ini memiliki banyak pesona alam yang dapat menarik perhatian para pencari wisata. Demikian hal ini tak lagi ada mengingat kondisi wilayah ini yang masih dalam status “konflik”. Tidak ada wisatawan yang ingin membahayakan nyawanya tentu

Selain ekonomi, dampak yang paling terasa juga berasal dari aspek politik. Provinsi yang tua ini kini mengalami ketegangan politik yang memuncak, banyak golongan yang memanfaatkan situasi ini sebagai batu loncatan tujuan mereka. Memang benar Indonesia kala itu baru terlepas dari belenggu orde baru, presiden baru kitaHabibie mulai membuka keran demokrasi. Kehausan masyrakat akan kebebasan ini yang kemudian disalah artikan. Demokrasi bukan berarti bebas melakukan segala kehendak, bukan berarti bebas untuk bersuara apa saja, tetap saja ada batasan yang membatasi hak kita,  batasan tersebut adalah hak orang lain

 Selain karena dampak politik nasional yang masih mempengaruhi mental penduduk Maluku, ternyata tuntutan untuk merdeka dari Indonesia juga malah ada. Tuntutan ini sering disorak – soraikan oleh salah satu golongan masyrakat Maluku yang tergabung dalam FKM (Forum Kedaulatan Maluku). Keinginan mereka jelas! Membentuk REPUBLIK MALUKU SELATAN

Meski akhirnya tuntutan ini diurungkan, namun timbul satu konsekuensi besar bagi ketata negaraan Indonesia, yakni munculnya satu Provinsi baru lagi. Provinsi ini dinamai Maluku Utara, timbul oleh sebab konflik Ambon dan mulai menapakkan dirinya sejak tahun 1999. Kondisi politik Maluku kala itu memang tak bisa dibayangkan, belum lagi jika kita menambahkan aksi solidaritas kaum muslim yang berada jauh dari Provinsi ini. Lascar jihad dari berbagai belahan Indonesia dikabarkan ikut turut serta dalam konflik dan tragedy berdarah ini.

Kegamangan kaum TNI juga menjadi kendala akan situasi social politik kala itu. Apalagi ketika terbukti ditemukannya aparat dalam salah satu penyerangan yang terjadi. Makin tidak mengenakkan kepercayaan masyrakat terhadap pemerintah, meski pada akhirnya mereka berdamai dalam sebuah perjanjian pun akhirnya tak diindahkan. Masyrakat tak lagi percaya pada independensi pemerintah, ia tak lagi netral. Hingga penting dan dirasa perlu kala itu diutus pihak keempat dalam mendamaikan tragedy berdarah ini. Sebuah kejadian besar bagi Negara muda Indonesia memang


MASA DEPAN IKATAN SOSIAL : Harapan dan Perbaikan
Pancasila adalah platform nasional yang paling utama. ….ibarat bilangan pecahan, pancasila dan UUD 1945 adalah the common denominator atau penyebut. Plurasisme antara bilangan1/2 dan bilangan 1/3 tidaklah bisa digabung menjadi satu apabila tidak disamakan penyebut atau common denominator. 1/2 menjadi 3/6 dan 1/3 menjadi 2/6, maka keduanya bisa digabung menjadi satu keutuhan kesatuan, jadilah 5/6  (Sri-Edi Swasono)[15]

Tidak akan bosan – bosan saya mengingatkan anda tentang arti penting pancasila. Nilai – nilai yang terkandung didalamnya adalah nilai – nilai murni yang jangan diabaikan. Ia adalah dasar Negara, dasar yang menjadi pereka seluruh perbedaan yang tercipta di Negara ini. Di tanah dan air ini. Maka jika ada yang bertanya apa ikatan social bangsa Indonesia? Mantaplah saudara sekalian berucap PANCASILA

Konflik dan tragedy berdarah di ambon adalah peristiwa yang tak lagi mengindahkan itu semua. Mereka melanggar asumsi law of people sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Mereka tak mengakui persamaan hak, tak mengakui perbedaan, tak mengakui pula hak asasi manusia. Mereka juga menggunakan jalan kekerasan untuk menyelesaikan masalah, bahkan hingga timbul ribuan korban jiwa. Menyebabkan kondisi ekonomi – politik ruwet mawut. Rakyat bingung raja turut bingung.

Bukankah ini tanda failed states ( Negara gagal )? Jika merujuk lebih luas konflik antar warga bukan hanya terjadi satu – dua kali di negeri kita ini. Sebut saja peperangan antar suku yang masih sering terjadi di wilayah timur kita, atau tragedy Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang tentu masih segar diingatan kita pula. Atau masih ingat dengan “timur – timur”? wilayah yang berhasil memecahkan diri dari Indonesia dan berdiri dengan nama Timor Leste.

Adalah sedikit contoh dari banyaknya konflik social yang terjadi dikalangan masyrakat kita. Sekali lagi saya sebutkan, ini adalah akibat kegagalan paham mereka akan ikatan social bangsa Indonesia. Pancasila. Mereka mulai meremehkan tulisan serta lambang yang terukir di patung Garuda itu.

Benar memang anak anak sekolah kita tak lagi memahami ideology ini. Pemerintah lebih senang meracuni mereka dengan kurikulum asing, focus mereka hanya pada persiapan menghadapi dunia luar tanpa mengerti untuk apa mereka berjuang kelak. Anda bisa bayangkan sendiri apa yang akan terjadi nantinya ketika generasi emas kita tidak lagi mengerti negaranya sendiri, tidak paham perbedaan tanah air, hanya terpaku pada ideology – ideology yang malah mereka temukan sendiri

Maka dengan ini semua masa depan Indonesia sudahlah sangat jelas. Jika memang tak ada niatan serius pemerintah untuk memperbaiki ini semua tak usah diragukan lagi, Indonesia akan menjadi sejarah. Namanya hanya akan tercatat di buku – buku pintar perpustakaan sebagai Negara yang pernah ada. Musnahnya pancasila sama saja dengan runtuhnya tembok berlin sebagai tanda awal runtuhnya Negara jerman. Tak perlu diragukan pula dengan masa depan generasi emas kita yang hanya akan menjadi pesuruh – pesuruh orang asing, mereka tak lagi punya landasan dasar untuk berpegang. Tak punya lagi arahan dan guidline untuk terus hidup dan mempertahankan bangsa

  Maka dengan ini semua besar harapan saya pada pemerintah dan segenap bangsa Indonesia untuk kembali pada nilai – nilai pancasila, nilai – nilai yang mempersatukan kita (ikatan social bangsa). Mari memulai hidup dengan mempertahan warisan dan semangat luhur ini, tugas kita adalah menyampaikan pesan dan pengharapan para pendiri bangsa pada generasi penerus bangsa. Tanggung jawab kita adalah menyiapkan generasi berkualitas yang mengerti tentang seluk beluk negaranya, bukan generasi yang malah tertanam ideology bangsa lain. Oleh sebab Negara ini didirikan berdasar ASAS KEBERSAMAAN bukan berdasar suatu ketetapan satu – dua orang, bukan pula atas pemberian bangsa lain, karenanya dokterin Pancasila sebagai landasan dasar pemersatu bangsa penting benar untuk dijaga, dimengerti dan diamalkan. Dan semoga dengan ini ada sebuah perbaikan yang berarti oleh pemerintah tentang mental dan pendidikan bangsa besar ini.




























DAFTAR BACAAN

Mohammad, Gunawan. 2011. “indonesia/proses : dari STOVIA, melintasi taksonomi Pg (55-68)”.                                Tempo/Grafitii. Jakarta
Sularto, ST. 2010. “Rindu Pancasila: Kesalehan social bangkrut, Pg( 5 – 8)”. Kompas PT media nusantara.                   Jakarta. Oktober 2010

Bagun, Rikard. 2010. “Rindu Pancasila: Pancasila janganlah diabaikan, Pg( xvii–xx)”. Kompas PT media                                  nusantara. Jakarta. Oktober 2010

Mankiw, N.G. 2009. “Macroeconomics 7th edition : Chp 2 the data of macroeconomics, pg (27). Worth                       publisher. New York city. 2010

Samosir, omas Bulan dan Adioetomo, sri moertiningsih. 2011. “dasar dasar demografi”. Penerbit salemba empat. 2010. Jakarta

Kuntjoro-Jakti, Dorodjatun. 2012. “menerawan Indonesia pada dasawarsan ketiga abad ke 21” . : peta     global, pg (15-111). Pustaka alvabet .maret 2012. Jakarta

Chomsky, noam. 1866. “Failed states: the abuse of power and the assault on democracy” pg(39) . Henry   holt and company. 2006. New York

Edwards. Michael. 2004. “Civil Society: civil society as associational life” pg (18). Polity press. 2008.            Cambridge.UK

Robinson, James dan Acemoglu, daron. 2012. “why nations fail?: the origins of power, prosperity, and        poverty”. Crown business. Maret 2012. New york

DIAKSES PADA 9 JUNI 2013, PKL 10.00 WIB. “Dalam Pertemuan tertutup Pemerintah, Istana Presiden   Indonesia, Jakarta 5 April 2013 : http://news.liputan6.com/read/554067/kisruh-bendera-daerah-        mirip-gam-sby-panggil-gubernur-aceh”

Lessy, zulkipli. 2006. “the ambon conflict and social work intervensions : a critical study of reconcilitation efforts between muslim and christian community iniated by government and non government organization. Poquest dissertation  and thesis. Agustus 2005. Canada
Israr, hikmat. 2013. “meninggalkan Ambon dengan kepala tegak: sekilas pengabdian mayjen TNI djoko   santoso selaku pangkoopslihkam dalam memulihkan konflik ambon pg (1)”. Budaya media.   Bandung

DIAKSES PADA 9 JUNI 2013, PKL 12.00 WIB “http://www.adriandw.com/peristiwa_ambon.htm

Mohammad, Gunawan. 2011. “indonesia/proses : Kain Baldwin Pg (31 - 54)”. Tempo/Grafitii. Jakarta

Swasono, Sri_Edi. 2008. “ekonomi islam dalam pancasila”. Disampaikan dalam annual meeting of             Indonesia economics experts association UNAIR. Agustustu 2008. Surabaya





[1] Mohammad, Gunawan. 2011. “indonesia/proses : dari STOVIA, melintasi taksonomi Pg (55-68)”. Tempo/Grafitii. Jakarta
[2] Sularto, ST. 2010. “Rindu Pancasila: Kesalehan social bangkrut, Pg( 5 – 8)”. Kompas PT media nusantara. Jakarta. Oktober 2010
[3]Bagun, Rikard. 2010. “Rindu Pancasila: Pancasila janganlah diabaikan, Pg( xvii–xx)”. Kompas PT media nusantara. Jakarta. Oktober 2010

[4] Mankiw, N.G. 2009. “Macroeconomics 7th edition : Chp 2 the data of macroeconomics, pg (27). Worth publisher. New York city. 2010
[5] Samosir, omas Bulan dan Adioetomo, sri moertiningsih. 2011. “dasar dasar demografi”. Penerbit salemba empat. 2010. jakarta
[6] Kuntjoro-Jakti, Dorodjatun. 2012. “menerawan Indonesia pada dasawarsan ketiga abad ke 21” . : peta global, pg (15-111). Pustaka alvabet .maret 2012. Jakarta
[7] Chomsky, noam. 1866. “Failed states: the abuse of power and the assault on democracy” pg(39) . Henry holt and company. 2006. New York
[8] Edwards. Michael. 2004. “Civil Society: civil society as associational life” pg (18). Polity press. 2008. Cambridge.UK
[9] Robinson, James dan Acemoglu, daron. 2012. “why nations fail?: the origins of power, prosperity, and poverty”. Crown business. Maret 2012. New york
[10]  Dalam Pertemuan tertutup Pemerintah, Istana Presiden Indonesia, Jakarta 5 April 2013 : http://news.liputan6.com/read/554067/kisruh-bendera-daerah-mirip-gam-sby-panggil-gubernur-aceh

[11] Lessy, zulkipli. 2006. “the ambon conflict and social work intervensions : a critical study of reconcilitation efforts between muslim and christian community iniated by government and non government organization. Poquest dissertation  and thesis. Agustus 2005. canada
[12] Israr, hikmat. 2013. “meninggalkan Ambon dengan kepala tegak: sekilas pengabdian mayjen TNI djoko santoso selaku pangkoopslihkam dalam memulihkan konflik ambon pg (1)”. Budaya media. Bandung
[13] http://www.adriandw.com/peristiwa_ambon.htm
[14]  Mohammad, Gunawan. 2011. “indonesia/proses : dari STOVIA, melintasi taksonomi Pg (55-68)”. Tempo/Grafitii. Jakarta
[15] Swasono, Sri_Edi. 2008. “ekonomi islam dalam pancasila”. Disampaikan dalam annual meeting of Indonesia economics experts association UNAIR. Agustustu 2008. Surabaya

0 komentar: