Sabtu, 14 Januari 2012

LEADERSHIP

"Biro MTI sebagai yang terbaik
di BPM FEUI periode 2011"

Baru saja lewat pleno akhir BPM (Badan Perwakilan Mahasiswa) FEUI, ini rasa lepas tanggung jawab sudah datang saja. Sama sekali TIDAK menggambarkan fakta belum kelarnya beberapa tugas sebelum serah terima, haaa.. haa… (evil laugh). Diakui atau tidak memang ada sedikit kegalauan dalam diri saya untuk menentukan kepanitian di semester depan. Terlalu banyak pilihan yang menggiurkan. Mulai dari kegiatan penelitian, Senat mahasiswa, koperasi mahasiswa, jurnalistik, olahraga, pecinta alam, jurnalistik, forum studi agama, English club, atau malah tetap lanjut di BPM periode 2012. Fuuhh,,,  Lagaknya butuh 7 “Malam Minggu” untuk mengambil keputusan.

Bicara tentang kegiatan kampus, jujur saya merasa kuliah tanpa organisasi ibarat “api tanpa arang”. Seperti tak ada semangat yang membakar diri untuk datang lebih pagi ke kampus selain buat nyalin jawaban tugas (ehh,,?)

Organisasi tentu tidak akan pernah lepas dari masalah kepemimpinan (leadership) yang sudah pasti PENTING untuk mahasiswa sebagai wadah belajar “memimpin” dan “dipimpin” sebelum kelak dilepas secara liar  di tengah masyrakat. Dan dari sini banyak pelajaran yang sudah pasti tidak kita dapat di dalam kelas dan kuliah – kuliah para dosen, sehingga merugilah mereka mahasiswa yang hanya berfokus pada “Text Book”. Ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari interaksi sosial Bung,,,

Terlalu banyak memori  leadership yang saya peroleh belakangan, seperti sudah mendewasa sedikit pribadi ini. Salah satunya adalah pelajaran bagaimana karakteristik pemimpin yang baik dan benar oleh “Mr. Swasono”. Sosok demi sosok pemimpin  berhasil beliau tuliskan dengan anggun dikertas yang dibagikan ke mahasiswanya, berikut beberapa kutipan tentang pemimpin yang melegenda tersebut, meninjau ulang legenda jawa sepertinya[1]


KEPEMIMPINAN

Oleh : Sri Edi Swasono
Penggalan : KOMPAS, Rabu, 12 Oktober 2011


Semua untuk rakyat

“Takhta adalah untuk rakyat”. Inilah adagium dan dokterin demokarasi pancasila yang harus menyertai gaya kepemimpinan nasional.
Dalam suatu krisis, masyrakat terdorong berandai – andai, mencari berbagai ibarat dan symbol – symbol keanggungan paripurna sebagai idealism cultural. Angan – angan akan tibanya satria Piningit atau Ratu Adil adalah ekspresi situasi krusial yang menyertai krisis kepemimpinan.

Maka, visi cultural keadiluhungan mengadaiakan sang pemimpin haruslah seperti Matahari (enabling leader). Tidak saja memberikan penerangan, pencerahan, dan transparansi, tetapi juga energy hidup, aksiomatik tegas tanpa ragu untuk terbit atau terbenam. Ia harus seperti Bulan (team building leader), menghadirkan harmoni hidup, kerukunan, ketentraman batin, dan keindahan paripurna. Ia harus seperti Bintang (visionary, master leader), member kejelasan mata angin, menegaskan arah perjuangan, mampu mengarahkan visi dan misi. Pemimpin juga harus seperti Udara (soulmate leader), menghindari kevakuman, mengisi kekosongandan kerinduan kawula. Ia harus seperti Air (democratic leader) , senantiasa menjaga emansipasi agar tidak miring kiri atau ke kanan, tak ada “anak tiri” dan tak ada “anak emas”.

Ia pun harus seperti Samudra (wise, decise leader), penuh ketangguhan, tak surut jika ditimba, tak meluap jika diguyur. Tentulah samudra dapat menggemuruh menggelora, teguh menjaga martabat, turun tangan membinasakan perselingkuhan, patriotik tanpa tara, dalam kias “sedumuk bathuk senyari bumi, pecahing dhada wutahing ludiro sun labuhi taker pati” (jika dahi dicoreng, sejengkal tanah dijarah, pecahnya dada dan tumpahnya darah, nyawa taruhannya)

Ia harus seperti Bumi (prosperity leader servant leader ), symbol ketiadaan  dendam, pemaaf, senantiasa menumbuhkan biji – bijian, dan menyediakan kemakmuran penuh kepalahwanan. Ia juga harus seperti Api (lawful leader), mampu menghukum yang salah tanpa pandang bulu, sekaligus menghindari bermain api.

Kepemimpinan saat ini sedang diuji dengan perombakan kabinet. Langkah ini akan sia – sia jika tidak bisa memberikan harapan baru kepada rakyat yang telah capek miskin, capek menganggur, capek antre, capek memikul beban hidup mahal, capek terpinggirkan sebagai kuli dinegeri sendiri. Rakyat harus termajinalisasi oleh kesenjangan kaya-miskin, tersiksa kecemburuan aspiratif antara kesengsaraan hidup dan kemewahan melimpah. Transfer pemilikan dari si miskin ke si kaya adalah pembagian dari pembangunan. Rakyat akan terlentang dalam proses menderisasi (inferiozation), menjadi inleader ditengah proses quasi-westernisasi

Saya yakin presiden tidak lengah lagi, menghindari kecelakaan momentum, berani tegas menyingkirkan yang lemah karakter, lemah nasionalisme, selingkuh politik, dan terendikasi korup. Jika yang dibenci rakyat ini tetap dipertahankan, presiden akan terkena getah dari mendiokritas cabinet bentuknya sendiri


SRI-EDI SWASONO
Guru besar FEUI



[1] Wahyu mahkuta : rahasia kepemimpinan jawa pusaka Hasra Brata,17 juni 2011

0 komentar: