Sabtu, 21 Desember 2013

EXCHANGE RATE SYSTEM : MENUAI PERTANYAAN LAMA NEGARA, FIX ATAUKAH FLOAT SISTEM?

“I will discuss what recent economic research tells us about exchange rate pass-through and what this suggests for the control of inflation and monetary policy. I will first focus on exchange rate  pass-through from a macroeconomic perspective and then examine the microeconomic evidence (MISHKIN, 2008)”[1]

Kartun Benny
M
enilik ulang kutipan diatas yang diucapkan oleh ekonom besar Frederic  S. Mishkin tentang exchange rate pada konfrensi Bank nogres yang diadakan 2008 tahun silam tentang exchange rate tentu menarik dan menimbulkan beberapa pertanyaan. Mishkin adalah salah satu Gubernur Bank sentral yang dimiliki oleh Negara adi daya Amerika serikat (FED :Federal Reserve[2]). Sebegitu pentingnya isu tentang exchange rate ini hingga dijadikan topic acuan umum untuk membahas konsen utama bank sentral dunia, inflasi.
Exchange rate atau yang oleh kita lebih dikenal dengan “nilai tukar” adalah perbandingan mata uang suatu Negara dengan Negara lain. Mengapa isu sederhana ini menjadi sebuah topic yang banyak diperdebatkan oleh banyak ekonom di zaman dahulu hingga sekarang? Tentu hal ini tak lepas dari karakteristik echange rate itu sendiri

Exchange rate menjadi penting karena nilainya menjadi tolak ukur suatu Negara di dunia. Selain sebagai nama baik, nilai exchange rate juga turut mempengaruhi perdagangan internasional. Bahkan oleh beberapa ekonom besar lainnya exchange rate harus dimasukkan dalam target penjagaan bank sentral, hal ini dikarenakan exchange rate kerap disamakan sebagai nilai inflasi eksternal yang dapat mempengaruhi nilai inflasi internal. Selain itu exchange rate juga dapat dijadikan sebagai indicator dalam terjadinya sebuah krisis Negara (Rogoff and Reinhart, 2009). teori ini kemudian dikenal khalayak umum dengan sebutan currency crash [3]

Exchange rate dalam teori ekonomi dibagi atas dua golongan pemikiran, fix dan float[4]. Fixed exchange rate, atau yang biasa kita kenal dengan nilai tukar tetap adalah pola pikir yang menganggap bahwa nilai exchange rate adalah sesuatu yang tetap nilainya. Besaran nilainya akan ditentukan melalui beberapa diskusi dan rapat – rapat terkait dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan politik tergantung dari kebijakan negaranya. Sehingga dalam teori makroekonomi IS-LM curve, apapun kebijakan yang akan dibuat pemerintah nantinya (baik fiscal ataupun moneter) haruslah menghasilkan nilai exchange rate dengan nilai yang sama, tak peduli tujuan awal diberlangsungkannya kebijakan tersebut. Paham ini memilki benefit kestabilan nilai tukar

Sedang satu lagi paham tentang exchange rate adalah floating (mengambang). yakni paham yang tidak terlalu memperhatikan nilai exchange rate, dalam teori makroekonomi IS-LM curve, nilai exchange rate dapat dibiarkan mengambang dan tidak memiliki nilai yang pasti sebagai tolak ukur acuan utama. Sehingga segala kebijakan moneter dan fiscal yang dikeluarkan pemerintah dapat mengubah nilai exchange rate tanpa ada kewajiban untuk mengembalikannya ke titik semula. Benefit dari paham ini adalah kemudahan pemerintah dalam membuat kebijakan ekonomi makro


PERDEBATAN PANJANG
Greater crisis susceptibility is a cost of more rigid exchange rate regimes. But countries with floating regimes are not entirely immune (Ghosh and Jonathan, 2008)
Perdebatan para ekonom tentang regime exchange rate yang harus digunakan ini berawal dari Bretton Woods system. Sebelum ini tepatnya semenjak berakhirnya masa perang dunia ke II (1994), banyak Negara yang mengalami kerugian dan bahkan kesulitan kehidupan baik dari segi social, ekonomi dan politik. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh Negara yang mengalami kalah perang, namun juga pada mereka Negara yang memenangi perang, sebut saja Amerika. Belum lagi dampak dari Great depression yang dialami banyak Negara di belahan dunia makin memperparah keadaan saat itu. Karenanya untuk menanggulangi masalah bersama ini tercetuslah sebuah gagasan untuk melakukan perundingan dalam rangka menyelesaikan masalah ini. Isu ini sebenarnya sudah lama di elukan oleh beberapa kalangan, bahkan diskusi – diskusi tertutup kerap kali dilakukan sebelum pertemuan secara formal dilaksanakan

Kemudian barulah pada juli 1994 pertemuan ini diselenggarakan secara formal di Mount washinton hotel yang terletak pada kota Bretton Woods. Pertemuan ini dihadiri oleh 44 negara dengan 700 lebih delegasi yang hadir untuk mewakili masing – masing Negara, dan hampir semua yang hadir adalah para ekonom dari zaman tersebut. Isu penting yang dibahas kala itu adalah terkait peraturan – peraturan internasional, termasuk diantaranya peraturan – peraturan terkait kebijakan moneter suatu Negara. Hasil dari pertemuan ini kemudian dijadikan sebagai landasan dasar regulasi – regulasi ekonomi dan politik bagi banyak Negara di pertengahan abad 20. Segala hasil dan keputusan yang dibuat pada pertemuan ini kemudian dikenal dengan istilah Bretton Woods System

Adalah isu terkait exchange rat[5]e yang menjadi salah satu topic hangat perdebatan kala itu. Pada saat itu Harry D White selaku perwakilan dari amerika serikat mengajukan sebuah usulan tentang pembentukan ISF (international stabilized fund) yang di tujukan untuk mengatasi permaslahan balance of payments dan pembangungan ulang bagi Negara – Negara yang mengalami dampak besar dalam perang dunai II. Namun terdapat gagasan berbeda dari perwakilan UK (inggris) yakni John Maynard Keynes. Keynes dalam pertemuan ini mengusulkan hal yang berbeda, yakni pembentukan ICU international clearing union) yakni organsiasi yang mengurusi currency exchange. Hal ini penting menurut Keynes mengingat banyaknya ketimpangan yang terjadi antara Negara yang kalah perang dan menang perang, khususnya dalam kekuatan mata uang.

Debat panjang kemudian terjadi mengingat pihak amerika melalui perwakilannya white menolak usulan yang diajukan oleh Keynes. Hal ini didasari pada beberapa argument berikut, sperti (1) tidak ada penjelasan yang detail mengenaijumlah batasan kredit pihak amerika harus sediakan (2) clearing union yang dimaskudkan Keynes bersifat foreign terhadap amerika dan congress.  Namun Keynes tetap bersisi kukuh untuk tetap memperjuangkan idenya ini masuk dalam keputusan yang dibuat dalam Bretton woods system.

Dihari berikutnya ia mengusulkan untuk memberi tambahan ide dengan membuat Whites Unitas sebagai internasional currency yang sesungguhnya ketimbang membuat semua member yang tergabung dalam ISF membuat currency masuk dalam satu lembaga keuangan, termasuk dollar. Hal ini kemudian kembali ditolak oleh white karena itu artinya sama saja dengan memberikan beban kepada amerika untuk menyediakan dollar setara dengan jumlah total seluruh hak mengambil kembali simpanan Negara lain dalam ISF.

namun demikian usulan Keynes tentang currency akhirnya malah disisipi dalam IMF (internasional monetary fund). Hal ini dikarenakan perdebatan ulang tentang pentingnya perdagangan internasional dan menumbuhkan sifat keterbukaan antar Negara yang pada waktu masih tegang akibat baru berakhrinya masa perang dunia ke II. Maka dengan ini era FIXED exchange rate regime mulai menggema dan menjadi hasil keputusan Bretton woods dan disepakati oleh banyak Negara berdasarkan alasan – alasan diatas, Keynes sukses menanamkan idenya tentang currency exchange yang pada akhirnya tertuang pada IMF.

Sehingga pada akhirnya hampir seluruh dunia pada saat itu mengikuti perjanjian yang telah dibuat dalam Bretton Woods, termasuk tentang fixed exchange rate.


INDONESIA VS MALAYSIA
inflation is always and everywhere a monetary phenomenon (Friedman 1968:39)”
Indonesia adalah salah satu Negara yang baru saja merdeka kala itu pada tahun 1945. Sehingga dalam pembentukan pola ekonominya, Indonesia secara bertahap mengikuti pola persetujuan sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian Bretton Woods termasuk diantaranya tentang fixed exchange rate pada oktober 1978. Hingga pada tahun 1997 indonesia terkena dampak krisis asia yang berasal dari Thailand. Akibat dari kerasnya dampak krisis ini pada agustus 1997 indonesia terpaksa membebaskan nilai tukar rupiahnya terhadap valuta asing. Indonesia mencoba menyelamatkan diri dengan cara mengganti regime exchange ratenya yang semula mengikuti pola Bretton Woods menjadi floating dan membiarkan rupiah berfluktuasi secara bebas dipasar.

Perubahan ini dimaksudkan untuk menjaga nilai volatility yang makin tak karuan kala itu kembali stabil (strumn and Hann, 2000). Pendapat ini kemudian didukung oleh Miranda Gueltom, selaku ekonom ia mengatakan bahwa “tingkat volatility akan lebih besar dialami oleh Negara yang mengalami fixed exchange rate” [6]Dengan demikian Indonesia tidak lagi menerapkan system fixed exchange rate

Permasalahan timbul di para spekulan investor. Karena perubahan system ini bank Indonesia mulai kehilangan kepercayaanya terhadap public serta diperparah kepanikan public yang belum terbiasa dengan system floating exchange rate mengakibatkan nilai rupiah merosot drastic dari Rp2000/dollar hingga menyentuh level Rp16.000/dollar. Krisis asia 1997 bagi Indonesia adalah sebab kemerosotan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat cepat dan tajam, meskipun masih banyak factor pendukung lainnya”. hal ini mengakibatkan deficit neraca berjalan dan utang luar negeri (Nasution:28).[7]

Demikian pilihan Indonesia dalam mengganti regime exchange rate tersebut juga masih penuh dengan pro dan kontra. Namun hal berbeda terjadi pada Negara tetangga kita, Malaysia. Meski dilanda krisis yang sama, Malaysia kala itu tidak serta merta saja mengganti regime exchange rate yang ia miliki kedalam free floating exchange rate layaknya yang dilakukan oleh Indonesia.

Pada saat itu Malaysia memiliki ciri – ciri dan kejadian yang sama persis dengan Indonesia, lebih parah lagi Malaysia kala itu mengalami deficit keuangan yang lumayan besar sebelum terjadinya krisis, yakni sebesar 5% dari GDP, Pada saat itu pula Malaysia adalah salah satu tujuan investasi asing terbesar di asia. Sadar akan hal ini Mahatir Muhammad selaku orang yang bertanggung jawab atas perekonomian Malaysia mengambil tindakan yang berbeda, bukan malah merubah exchange rate regime seperti indonesa mahatir Muhammad malah focus pada kebijakan Capital control [8]Malaysia, selain itu ia juga menekankan Ringgit pada nilai 3.8/dollar dan menaikkan interest rate berlahan lahan[9].

Pemikiran mahatir ini terbukti tepat, dengan adanya kebijakan ini Malaysia berhasil melawan para spekulan yang mencoba bermain dengan nilai dollar, lebih dari itu beberapa total asset yang seharusnya lenyap berhasil diselamatkan. Namun sayang pada tahun 1998 Malaysia tak mampu lagi menahan krisis Asia yang ditularkan oleh Thailand. Segala kebijakan yang tengah dibuat menjadi rontok dan para spekulasi kembali lagi memainkan perannya. Ringgit kehilangan 50% nilalinnya


INDONESIA MASA 2013
setelah memasuki masa tenang dalam 10 tahun terakhir, Indonesia pada akhirnya berhasil bangkit dalam keterpurukan yang amat dalam. Selama beberapa tahun belakang Indonesia konstan berada pada pertumbuhan ekonomi di level 6%. Semua Nampak baik – baik saja dengan level nilai tukar Rp9000/dollar. Namun demikian hal tak terduga terjadi, di penghujung tahun 2013 indonesia kembali mengalami guncangan. Akibat nilai tukar yang dibiarkan bebas di pasar, exchange rate Indonesia malah merosot kembali pada level Rp.12000/dollar

hingga kini bank Indonesia terus menaikkan tingkat suku bunganya sampai dengan level 7.5%. beberapa ekonom mulai menduga beberapa penyebabnya. Ada yang berpendapat bahwa ini adalah akibat FED yang mulai menarik bantuan moneternya pada pemerintahan Amerika ada pula yang berpendapat bahwa keadaan ekonomi Indonesia yang memang tidak siap. Diluar apapun itu Indonesia kembali mengalami pertanyaan. Haruskah FIX atau FLOAT?

Akhirnya kesemua ini memang merupakan trade off. Setiap regime merupakan opportunity cost dari regime yang lainnya. Yang bisa dilakukan Negara adalah bertindak tenang dengan mempertimbangkan segala aspek ekonomi yang ada sesuai dengan situasi dan kondisi serta tujuan Negara tersebut. Karena sejatinya setiap regime akan mempengaruhi ekpektasi masyrakat pada nilai inflasi. Exchange rate dengan niali yang lebih rigit memang akan membuat pemerintah mudah dalam mengendalikan ekspektasi inflasi dan pertumbuhan ekonomi, akan tetapi dalam waktu bersamaan mereka juga akan mengalami resiko kesulitan penggunaan kebijakan makroekonomi, serta penambahan resiko terjadinya krisis[10]

REFRENSI

·         Reinhart, Carmen M dan Kenneth S. Rogoff. 2009. This time is different. Eight centuries of financial folly Chp 1 varieties crisis and their dates. Princeton : Princeton University Press

·         Mishkin, Frederic S . 2004. The economics money, bankinf, financial markets 7th”. USA. Pearson

·         [1]Mikesell, Raymond F (1994). “the Bretton woods debates a memoir”.departement of economics Princeton university. New jersey. http://www.princeton.edu/~ies/IES_Essays/E192.pdf

·         Gueltom, Miranda S., Indonesia under the Free Floating Exchange Rate System, Essays in Macroeconomic Policy: The Indonesian Experience, Ch. 12.

·         Nasution, Anwar. 1997. “Lessons from the Recent Financial Crisis in Indonesia”,
makalah pada “1997 Economics Conference”, diselenggarakan bersama oleh USAID, ACAES,
LPEM-FEUI, Jakarta, 17-18 Desember

·         Hsing, YU. 2008. “ is the monetary policy rule responsive to exchange rate changes? The case of Indonesia, Malaysia, the Philippines, and Thailand. Springer-verlag 2009

·         Ghosh, atish R and ostry, joanthan D (2009)”choosing an exchange rate regime”.finance and development

Informasi akses : diakses pada 14 Desember 2013.
 ttp://www.henciclopedia.org.uy/autores/Khor/Malaysia.htm





[2] Bank sentral amerika
[3] Reinhart, Carmen M dan Kenneth S. Rogoff. 2009. This time is different. Eight centuries of financial folly Chp 1 varieties crisis and their dates. Princeton : Princeton University Press

[4] Mishkin, Frederic S . 2004. The economics money, bankinf, financial markets 7th”. USA. Pearson


[5] Mikesell, Raymond F (1994). “the Bretton woods debates a memoir”.departement of economics Princeton university. New jersey. http://www.princeton.edu/~ies/IES_Essays/E192.pdf
[6] Gueltom, Miranda S., Indonesia under the Free Floating Exchange Rate System, Essays in Macroeconomic Policy: The Indonesian Experience, Ch. 12.
[7] Nasution, Anwar. 1997. “Lessons from the Recent Financial Crisis in Indonesia”,
makalah pada “1997 Economics Conference”, diselenggarakan bersama oleh USAID, ACAES,
LPEM-FEUI, Jakarta, 17-18 Desember.
[9] Hsing, YU. 2008. “ is the monetary policy rule responsive to exchange rate changes? The case of Indonesia, Malaysia, the Philippines, and Thailand. Springer-verlag 2009

[10] Ghosh, atish R and ostry, joanthan D (2009)”choosing an exchange rate regime”.finance and development

1 komentar:

callicejaiah mengatakan...

Harrah's Cherokee Casino & Hotel - KT Hub
Featuring 5 restaurants 부천 출장샵 and 2 bars, Harrah's 군포 출장마사지 Cherokee Casino 계룡 출장샵 & Hotel is strategically 화성 출장샵 located near Harrah's Cherokee 경상남도 출장마사지 Casino & Hotel. Located on