Minggu, 22 April 2012

“Pembangunan dan Manuver Lembaga Internasional”


Sumber Gambar: watatita.wordpress.com/2011/02/08garuda-pancasila-
sibuk-bertengger-tetapi-jarang-yang-memperhatikan/
 “Bagi kita, ra’jat itoe jang oetama, ra’jat oemoem jang mem­poenjai kedaulatan, kekuasaan (Souvereinteit). Karena ra’jat itoe jantoeng-hati Bangsa. Dan ra’jat itoelah jang men­djadi oekoeran tinggi rendah deradjat kita. Dengan ra’jat itoe kita akan naik dan dengan ra’jat kita akan toeroen. Hidoep atau matinya Indonesia Merdeka, semoeanja itoe bergan­toeng ke­pada semangat ra’jat. Pengandjoer-pengandjoer dan golong­an kaoem terpeladjar baroe ada berarti, kalau dibela­kangnja ada ra’jat jang sadar dan insjaf akan kedaulatan dirinja” (Bung Hatta, Daulat Ra’jat, 20 September 1931).
Menggali pemikiran Moehammad Hatta di awal tulisan mengingatkan kembali kita kepada impian perekonomian rakyat Indonesia yang tertuang dalam pasal 33 UUD 1945 tentang “kesejahteraan sosial”cita - cita  bangsa kita. Didalam ayat (1)-nya muncul sederet ulasan kata yang menarik perhatian untuk dapat dikupas lebih dalam, “bersama” dan “asas kekeluargaan”. Kalimat ini menjadi penting mengingat fakta inilah yang menjadi tujuan bangsa. Landasan segala pembangunan perekonomian negara kita, perekonomian yang menjadikan rakyat sebagai titik pusat perputarannya (sub sentral) bukan kebebasan pasar.

Refleksi perekonomian Indonesia
Didalam pasal 33 UUD 1945 juga tercermin perekenomian yang ingin diwujudkan oleh para pembangun negara (founding father)  kita bahwa perekonomian indonesia merupakan ekonomi yang disokong dan dikendalikan bersama oleh rakyat berdasar asas kekeluargaan. Dengan ini menjadi jelas apa yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk mewujudkan cita – cita tersebut, “fokus pada pembangunan dan pemberdayaan rakyat” sehingga rakyat mampu mandiri dan mengelola pembangunan bangsanya. Biarkan mereka berkembang menjadi orang – orang hebat yang mampu mengangkat derajat bangsa dan negaranya. Maka ketika rakyat telah mampu memutar roda perekonomian sendiri disaat itulah mereka memiliki kekuataan (power) untuk membangun bangsa. Sehingga pembangunan negara (states)  kita bukan pembangunan yang menyingkirkan rakyat, melainkan pembangunan yang mengikutsertakan mereka disampingnya. Pembangunan negara adalah derivate pembangunan rakyat

Maka ketika pemerintah membangun rakyatnya sama artinya dengan membangun negara. Pembangunan sikap, mental, pikiran, dan segala kebutuhan mereka akan mampu memberikan kekuatan bagi mereka untuk bersatu dan berkerja sama membangun bangsa. Sehingga “daulat rakyat” seperti tercantum dalam pasal 1 ayat (2) dapat terlaksana secara lebih nyata (real) dan terasa manfaatnya secara langsung. Pembangunan seperti inilah yang menjadi cita – cita Indonesia, pembangunan negara atas dasar kekeluargaan (brotherhood/ukhuwah) dan kebersamaan (mutualism) yang memajukan rakyat sebagai ujung tombaknya hingga mereka berhasil membuat pasar (market) yang ideal dan tak berat sebelah.

Sebagian orang setuju dengan pendapat ini dan sebagian lagi malah memandang rendah serta maju dengan semangat individualsm bersama globalisasi, mereka mengesampingkan kepentingan bersama dan menjadikan kepentingan individu sebagai prioritas utama. Pemutaran ujung dan pangkal pembangunan sering kali terjadi, rakyat tidak lagi menjadi prioritas utama, mereka seakan lebih fokus pada pembangunan modal (capital). Modal yang masuk seakan lebih penting dan berarti dibanding kesejahteraan rakyat. Akibatnya nyata, pembangunan negara ini tak lagi terlihat mengikutsertakan rakyat, mereka rakyat kecil yang tak mampu menjadi korban penggusuran pembangunan negara. Semangat kapitalisme kembali mengalahkan kebersamaan kita, para ahli ekonomi negeri seakan tak memperdulikan kesejahteraan rakyat lagi, maksimumisasi laba (profit) menjadi tujuan utama bukan manfaat (benefit) untuk kesejahteraan bersama.

Pembukaan kesempatan bagi investor asing secara lebar tanpa proses penyaringan juga turut serta mengambil andil atas pembangunan yang tak berimbang ini, tingkat GDP (gross domestic product) dan GNP (gross national product) negara kita terus mengalami kesenjangan[1]. Perbandingan (ratio) antar mereka tak lagi berimbang, GDP yang melibatkan pihak asing malah unggul dan memimpin. Bukankah ini dapat berarti kelengahan kultural bangsa secara massal? Haruskah kita rela pembangunan negeri ini diserahkan pada tangan-tangan asing dan membiarkan rakyat sebagai pemilik sebenarnya menyaksikan pembangunan di pojok sana? Maka disinilah letak relevansi jelas perbedaan  “pembangunan di Indonesia” dengan “pembangunan Indonesia” apakah kita menjadi tuan di negeri sendiri atau jongos globalisasi?[2]

Menjadi lucu ketika BUMN (badan usaha milik negara) sebagai cabang produksi penting negara penguasa hajat hidup orang banyak sudah mulai dilirik pihak asing. Sayang sifat kita yang justru kurang protetktif, “belum ditanya sudah ditawarkan” seakan asset – asset penting rakyat kita adalah barang yang dengan mudah diperjual belikan. Kasus nyata penjualan indosat ke perusahaan singapur, indosat sebagai salah satu bentuk kekuasaan angkasa bangsa kini menjadi milik asing. Kejadian – kejadian seperti ini harusnya menjadi sentilan keras bagi bangsa kita atas segala kelengahan yang tengah terjadi.

Lebih dari itu, ketika kejadian ini berlangsung secara berlarut – larut, globalisasi masuk dengan bebas dan harga (price) sudah mulai ditentukan oleh keseimbangan pasar (equilibrium market) bukan lagi keseimbangan rakyat, memicu timbulnya sesembahan baru bernama “daulat pasar”. [3]Daulat rakyat yang selama ini kita angkat dan di perjuangkan mulai digeser dan diambil alih kuasanya oleh pasar. Rakyat mulai kehilangan kekuatan, pasar tak lagi bersahabat. Mereka yang berada di bawah garis keseimbangan menjadi layak untuk diabaikan. Ini jelas bentuk pelemahan (disempowerment) rakyat.

Terlepas dari itu, negara sejatinya memiliki peran penting untuk lebih hati – hati menilai perjanjian internasional, dalam arti menyeleksi tingkat globalisasi yang masuk kedalam bangsanya. Jangan sampai globalisasi justru malah menyingkirkan rakyat dan menghancurkan keseimbangan yang ada. Negara bukan malah memberi peluang yang besar untuk kapitalisme masuk bersama globalisasi. Seperti pelaksanaan “asas konkordansi”[4] dan aturan peralihan pasal II UUD 1945 [5]sebagai derivate hukum belanda yang menjadi dasar KUHper (kitab undang – undang hukum perdata) dan KUHD (kitab undang – undang hukum dagang) kita yang seolah membuka lebar pintu kapitalisme masuk bersama globalisasi, mengapa mereka yang bersifat “turunan” itu malah justru mendominasi pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar kesejahteraan sosial. Karena memang globalisasi ibarat pedang bermata dua, negara harusnya memberikan protektif dan pembelajaran dalam hal menghadapi globalisasi. Bukan seperti sekarang, masyrakat dan kaum remaja khususnya malah asyik terbuai dengan globalisasi. “Mereka masih cenderung mengagumi globalisasi bukan bersiap menghadapinya” Nampak jelas masyrakat kita terjebak di kapsul pasar (individualism)  global yang salah. Mereka salah kaprah tentang arti globalisasi

Dengan demikian dapat kita susun masalah bersama, faktanya permasalahan kita fokus pada sejauh mana globalisasi mempengaruhi pembangunan kita? Sejauh apa perjanjian internasional turut serta dalam campur tangan pembangunan bangsa kita? Benarkah globalisasi datang bersama angket – angket liberalism (neoliberalism)? Pengotakan masalah seperti ini menjadi penting  untuk melihat nyata musuh kita. Jangan sampai lawan berhasil menyurutkan kredibilitas kita sebagai rakyat pemilik bangsa

Tiga lembaga raksasa
Di era akhir  abad 19 perang dunia ke II Amerika serikat muncul sebagai negara adidaya yang berhasil berdiri tegap ditengah segala kekacauan. Eropa, jepang, china dan negara lain   mengalami resesi akibat kehilangan emas dalam perang dan sebab – sebab lain yang menyertainya. Hanya Amerika sebagai negara pemenang perang yang cukup kuat berdiri dan menjadi tumpuan ekonomi dunia. Mengambil kesempatan ini, Amerika yang memiliki cadangan emas dunia lebih dari 50% membuat konfrensi moneter persatuan bangsa – bangsa (PBB) di “Bretton Woods” antara 1 juli 1944 – 22 juli 1944. Pertemuan yang diikuti 44 negara ini akhirnya menetapkan pembentukan dua lembaga keuangan internasional, IMF (international monetary fund) badan pemberi pinjaman khusus dan IBRD (international bank for reconstruction development) yang menjadi cikal bakal beridirnya WB (world bank). Baru kemudian WTO (world trade organization) sebagai organisasi yang secara khusus mengatur perdagangan antar negara dibentuk pada 1 Januari 1995 sebagai pendukung  perjanjian Bretton Woods.

Sudah barang tentu ketiga lembaga ini memiliki peranan masing – masing dalam implementasinya di dunia internasional. IMF contohnya, sebagai negara pemberi pinjaman dana mereka juga diwajibkan untuk melakukan pemantauan ekonomi secara khusus dan memberikan pelatihan pada anggotanya. World Bank sebagai lembaga keuangan internasional penyimpan dana – dana umum dan WTO selain sebagai badan pengatur regulasi [6](policy) perdagangan antar negara termasuk didalamnya free trade yang bersifat global dan mencakup seluruh negara bagian anggotanya juga diwajibkan membantu para produsen barang (good’s) dan jasa (service) ekportir, importer dalam kegiatan perdagangan nantinya. Sekilas lembaga – lembaga ini memang tampak seperti lembaga internasional biasa.

Indonesia sendiri mulai terdaftar di ketiga lembaga tersebut setelah pengajuan pinjaman dana pada 1953, yang kemudian sebagai tindak lanjutnya disahkan dengan “Undang – undang no. 5 tahun 1954” pada 13 januari 1954. Maka sesuai dengan nama yang diberikan, IMF memiliki kewajiban memberikan pinjaman [7]dana  pada para anggotanya, termasuk Indonesia. Indonesia yang pada saat itu terbayang - bayang impian besar pembangunan infrastruktur seperti pembuatan jalan tol, bendungan, gedung – gedung mewah, pelabuhan, lapangan pacu pesawat dan berbagai mimpi indah lainnya termasuk penyediaan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan bagi rakyatnya, mulai terbawa hasrat peralihan negara agraris ke negara industriliasasi secara instan, dan sebagai negara yang baru lepas dari penjajahan nekat melakukan pinjaman  dana bank luar dengan harapan mampu mengembalikan pinjaman dari hasil penjualan SDA (sumber daya alam) – nya.

Memang tak bisa dipungkiri, beberapa pembangunan infrastruktur kota besar kita didukung oleh tiga lembaga besar ini, besarnya pinjaman dana yang diberikan pada kita membantu pembangunan negara ini secara cepat dan instan, namun ibarat “gali lubang tutup lubang” permasalahan ditutup dengan permasalahan. Dengan peminjaman dana secara berlebih pada IMF Indonesia kembali mengalami resesi dan terlilit hutang dengan jumlah bunga yang tak sedikit. Menjadi lebih buruk lagi ketika akhirnya Indonesia menjadi boneka Washington, dengan total kewajiban yang belum kita lunasi mereka tentu dengan semena – mena merasa memiliki hak untuk turut serta dalam pengelolaan negara kita. Lihat saja dengan fakta pembuatan undang – undang (regulation) yang memudahkan pihak mereka masuk untuk mengambil keuntungan dari negeri kita yang kaya akan sumber daya alam . Mulai nampak tujuan lembaga ini.

Ternyata Indonesia tak sendiri, banyak negara – negara berkembang lainnya turut megalami hal serupa. Terlebih ketika United States (US) mengalami inflasi pada 1979, dimana Paul Volcker sebagai kepala Federal Reserve mengambil kebijakan financial untuk menaikkan tingkat suku bunga dan membuat malapetaka bagi negara – negara peminjam pundi dollar[8]. Bunga hutang Mexico melonjak dengan fantastis, dari 2.3 milliar USD naik menjadi 6.1 milliar USD, hampir tiga kali lipatnya. Harga – harga pangan di negara Afrika pun tak luput dari santapan kebijakan brutal ini. Barang ekspor utama mereka mulai rontok di pasar internasional, kondisi ini membuat  mereka mustahil mengembalikan bunga dan hutang yang mereka pinjam. Argentina sebagai salah satu negara penghasil daging waktu itu juga ikut terkena imbas pelumpuhan barang komoditas di pasar 1980. Harga daging produksi mereka jatuh dari 2.25/kg 1980 ke level 1.6/kg pada akhir 1981. Lantas bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara penalang pundi dolar juga sudah tentu terkena imbas global ini. Semakin tenggelam bersama bunga dan lilitan hutang.

Menanggapi imbas krisis global (global crisis) ini, pihak US menginisiasi kebiijakan baru. Kebijakan kali ini dipelopori oleh James Baker, secretary of the treasury Amerika Serikat, yang dikemudian hari lazim didengar sebagai “Washington consensus” [9]sebagai standar reformasi bagi negara berkembang. Jelas dan nyata upaya lembaga ini dalam penyebaran paham liberal serta pelumpuhan wewenang negara. Negara tak lagi diberikan wewenang penuh untuk mengatur dan memberikan batasan dibidang ekonomi bagi rakyatnya, segala sesuatu akan dikembalikan dan diatur oleh mekanisme pasar (market mechanism). Pasar yang akan menentukan keseimbangan harga dan tingkat bunga. Belum lagi aturan tentang penjualan asset – asset BUMN pada pihak asing (privatization) yang semakin membuka lebar peluang pengambilan alih asset kekayaan kita. Hal – hal ini dapat kita artikan sebagai pemberian wewenang seluas – luasnya kepada pasar untuk berperan dan mendukung sikap individual dah globalisasi kompetitif untuk terus tumbuh. Pasarlah yang memiliki hak untuk menentukan segala halnya, hingga orang kembali fokus pada pemberdayaan modal untuk bersahabat dengan pasar. Daulat pasar memegang kendali penuh pemerintahan kita.

Dengan demikian kembali menjadi jelas kondisi yang terjadi di negara kita. Mengapa daulat pasar dengan kuatnya mengalahkan daulat rakyat. Mengapa pembangunan modal menjadi lebih penting ketimbang pembangunan rakyat. Mengapa asset – asset penting kita mulai berpindah tangan ke negara lain, atau mengapa pembangunan kita seakan tak peduli pada kesejahteraan rakyat bersama?. Maka dengan imbas Washington Consensus, globalization dan free trade WTO dengan prinsip Beggar Thy-Neighbor[10]-nya dapat kita simpulkan bersama, gerakan “Neoliberalism sudah mulai merambah Indonesia”.

Mendesain ulang globalisasi
Dari pembeberan adagium diatas kita ketahui dasar penyebar Neoliberalisme adalah IMF, WTO, dan juga World Bank, dengan beberapa agenda pelaksanaan Neoliberal yang tertuang pada Washington consensus menjadi titik tolak ukur keberhasilan (goals) mereka. Maka pantaslah jika tiga lembaga besar ini disebut sebagai The Unholy Trinity[11]. Indonesia lantas tak bisa bisa diam dan pasrah begitu saja. Diperlukan perbaikan – perbaikan diberbagai lini untuk memproteksi diri dari paham – paham semacam ini. Perlu diingat bahwa berdasar pasal 33 UUD 1945 kita adalah penganut paham “kebersamaan”. Pembangunan negeri ini tak bisa berdasarkan satu atau dua orang saja, keseluruhan sistem rakyat dan pemerintahlah yang harus ikut serta dalam andil pembangunan bangsa.

Oleh karenanya dirasa perlu bagi pemerintah untuk mendesain ulang globalisasi, mendesain  dalam arti berhati – hati menandatangani tiap persetujuan internasional, dan hendaknya mulai  menyusun strategi internasional jangka panjang. Jangan sampai globalisasi yang masuk ke Indonesia malah merugikan dan menghancurkan bangsa ini. Rakyat dan negara harus bisa bebas dari ketergantungan asing. “Mandiri” menjadi kunci sukses keberhasilan ini. Pemerintah hendaknya kembali fokus pada tujuan utama, fokus pada pembangunan rakyat (sandang, pangan papan, pendidikan, kesehatan dan segala kebutuhan lainnya) dengan cepat dan tepat.

Tidak salah karena rakyat yang kuat akan mampu untuk bersama secara mandiri membangun bangsanya. Dan pada akhirnya akan berhasil membentuk keseimbangan pasarnya sendiri yang sesuai dan tak berat sebelah. Maka ketika globalisasi datang menghampiri dengan iming – imingnya yang menggiurkan, rakyat bersama sudah dalam kondisi siap menghadapi globalisasi dan tak akan mudah terpedaya. Hingga rakyat dan negara mampu membentuk globalisasi kompetitif menjadi “globalisasi yang adil dan terkandali” yakni globalisasi yang tak mengenyampingkan rakyat, mengutamakan kepentingan nasional dan tanpa mengabaikan tanggung jawab global.




[2] Sri-Edi Swasono : Indonesia is not for sale
 Kompas 4 november 2010
[3] Bung hatta bapak kedaulatan rakyat bab 53.
Oleh Sri-Edi Swasono : satu abad bung hatta, kedaulatan rakyat dasar martabat bangsa
[4] Asas yang menyatakan orang dari golongan tertentu mengikuti hukum yang sama disuatu negara berbeda
[5]  Aturan peralihan Pasal II: Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
[6] Lihat juga syarat dan perjanjian yang telah disepakati Indonesia: http://www.deptan.go.id/kln/berita/wto/ttg-wto.htm
[7] Lihat juga peran lainnya secara lebih detail : Jeremmy clift, International mutual fund, Washinton DC 2001
[8] www.loahmutuk.org, timor post 4 desember 2009: terlampir juga data – data mexico, argentina dan penyebab krisis global
[9]  http://www.iie.com/publications/papers/paper.cfm?researchid=486 Dijelaskan lebih lanjut Washington consensus oleh John Williamson  dalam Latin American Adjustment: How Much Has Happened?1990 di Chp 2 sebagai : (1) fiscal deficit, (2) public expenditure priorities, (3) tax reform, (4) interest rate by market, (5) competitive exchange rate, (6) liberalization trade policy, (7) foreign direct investment by debt equity swaps (8) privatization, (9) deregulation for competitive market, (10) property right
[10] Prinsip yang menyatakan :kebijakan ekonomi suatu negara untuk memperbaiki permasalahannya dengan memberikan efek negative pada perekonomian negara sekitarnya
[11] Richat peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO 2003.
it shows how neoliberalism hijacked the IMF, World Bank and WTO in relation to their global financial, development and trade management roles.


1 komentar:

Outbound di Malang mengatakan...

salam gan ...
menghadiahkan Pujian kepada orang di sekitar adalah awal investasi Kebahagiaan Anda...
di tunggu kunjungan balik.nya gan !