Senin, 30 April 2012

“Ketahanan Koperasi dalam Globalisasi”



Dalam sasaran umum pembangunan Indonesia  yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 jelas tertera  “memajukan kesejahteraan umum”  dan ini tetap dalam koridor pancasila. Pembangunan yang dimaksud ialah pembangunan yang maju , mandiri dan tak berat sebelah. Oleh karenanya, pembangunan kita mulai menitik beratkan pembangunan nasional pada “bidang ekonomi” sebagai faktor pengaruh utama penggeraknya. Koperasi sebagai “soko guru perekonomian Indonesia”  harusnya memiliki andil utama dalam pembangunan dan peran yang strategis dalam mengembangkan ekonomi rakyat. maka dengan “jati diri” koperasinya kesejahteraan bersama dapat tercapai, dan kesemuanya ini menjadi penting ketika kita berbicara tentang kesenjangan sosial. Melihat peluang ini, harusnya pemerintah turut serta dalam pembangunan nasional dalam arti turut membuat iklim yang baik bagi perkembangan koperasi di Indonesia, karena dengan koperasi yang baik “Demokrasi Ekonomi” dapat meningkatkan kemakmuran rakyat secara selaras, adil dan merata. Inilah pembangunan yang baik dan dicita – citakan bangsa. Pembangunan yang melibatkan seluruh rakyat, negara, dan pihak eksternal lainnya.


Boomerang globalisasi

Setelah dibentuknya GATT (General Agreement on Trade and Tariff’s) sebagai integral WTO (World Trade Organization) dan Free trade yang kini masuk bersama globalisasi menjadi batu sandungan bagi pembangunan kita. Bagaimana tidak? Kesenjangan ekonomi antar negara berkembang dan maju justru semakin melebar, hak dan wewenang pemerintah dalam melindungi koperasi muda mulai dibatasi. Nampak kebijakan negara sendiri “kebakaran jenggot” menghadapi globalisasi. Akibatnya nyata, setelah ditinggal pemerintah banyak koperasi menghadapi tekanan dalam globalisasi dan perdagangan bebas.

Memang tak bisa dipungkiri kebobrokan koperasi Indonesia, lembeknya mental bangsa membuat kita jarang mandiri, tak memiliki kepribadian, dan cenderung tak berani bersaing. Kalau sudah begini sekeras apapun usaha pihak luar untuk membantu menumbuhkan koperasi menjadi sia – sia belaka. Koperasi harus mampu tumbuh dan membenahi diri sendiri. Permasalahan utama terletak pada penciptaan iklim yang mendukung bagi koperasi untuk mulai berbenah diri. Jika pemerintah sebagai pemeran utama sudah mulai dikurangi wewenangnya untuk turut serta dalam andil tersebut, lantas siapa lagi yang dapat mengganti perannya? Disinilah letak peran pemerintah yang terlihat nyata terbatasi

Ancaman yang meneror merambat ke sector lain, kini koperasi bukan hanya ditakutkan tak mampu berkembang karena kurangnya iklim yang mendukung. Tekanan globalisasi dari sector pendanaan pun ikut turut menjadi ancaman utama bagi koperasi. Dalam menghadapi tekanan – tekanan seperti ini banyak koperasi mengambil jalan yang salah untuk bertindak, mereka cenderung mengambil jalan yang sama sebagaimana yang digunakan oleh pihak asing dan swasta. Maksimalisasi profit bukan benefit kembali terjadi. Anggota bukan lagi pemilik utama, keabsahana suara mulai dihitung dari modal yang dikeluarkan, bukan “one man one vote”. Anggota tak lagi menjadi stakeholders pemegang kepentingan utama, alih – alih hanya sebagai shareholder pelanggan atau peserta biasa. Hal – hal seperti ini membuat kertas pemisah koperasi dan perusahaan swasta menjadi tipis, kedua badan ini seolah tak lagi memiliki perbedaan menjadi cair dan larut menjadi satu. Isu “Kehilangan jati diri” mulai terdengar


 ILO recommendation’s

ILO logo
ILO merupakan sebuah organisasi buruh internasional yang mulai sadar akan keterancaman ini. Mengingat hal ini, lantas tak tinggal diam begitu saja. Mereka mengadakan pertemuan di Geneva dengan siding ke 90 pada 3juni 2002. Dalam siding tersebut mereka mengakui pentingnya koperasi dalam menciptakan pekerjaan, mobilisasasi sumber daya, roda penggerak investasi dan sumbangan utama perekonomian. Maka untuk membuat koperasi dapat bertahan dalam kerasnya tekanan globalisasi, ILO mengajukan beberapa rekomendasi sebagai jawaban atas tantangan globalisasi. Rekomendasi tersebut tertuang dalam 19 ayat [1]termasuk pemberian wewenang pemerintah dan pengukuhan jati diri koperasi yang lebih dalam.

Maka dengan solusi – solusi seperti ini, koperasi dan pemerintah kembali mendapat angin segar. Pemerintah kembali memperoleh kuasanya untuk turut serta membangun koperasi secara langsung. Pemberian fasilitas, pendidikan, investasi dan kewenangan lainnya kembali diperoleh. Koperasipun kembali dipaksa untuk mempertahankan jatidirinya lebih dalam, sehingga koperasi tetap maju dan jalan direl yang sama dan tak merubah haluan.

Terlepas dari itu, dengan adanya solusi seperti ini koperasi dapat tetap tumbuh dan bersaing dengan perusahaan – perusahaan asing dan swasta yang masuk bersama globalisasi. Globalisasi tak lagi menjadi ancaman, justru sebaliknya sebagai sarana yang baik dalam pengembangan koperasi – koperasi yang ada


[1] ILO rekomendasi 193 umum: (1) diakuinya koperasi (2) koperasi kumpulan orang sukarela secara otonom (3) memperkuat jatidiri (4) pemajuan potensi koperasi (5) cara khusus koperasi sebagai usaha bersama (6) keseimbangan sector – sector (7) pemajuan koperasi  dengan jatidiri (8) kebijakan nasional (9) pemerintah memajukan peran koperasi (10) adanya UU khusus (11) kewajiban fasilitas oleh pemerintah (12) cara memfasilitasi
(13) pengembangan kondisi yang baik (14) pengakuan  organisasi (16) pekerja (17) kerjasam koperasi (18) kerjasama international (19) revisi rekomendasi

Selasa, 24 April 2012

Pemerintah dan Stabilitas Negara


Sebuah studi kasus BELGIA
Sumber gambar: planetware.com/map/belgium-
kingdom-of-belgium-map-b-belg.htm
Pendahuluan
Kembali menilik bait pemimpin oleh pak Sri Edi tentang kepemimpinan, yang boleh saja mirip dengan legenda adat jawa menginggatkan kembali kita akan sosok “Ratu adil” yang kita nanti selama ini. sebagaimana sosok Matahari, Bulan, Bintang, Air, Samudra, Bumi, dan Api yang terus melayani tanpa pernah meminta imbal balik jasa pada manusia (human).


Demikian melihat kejanggalan yang terjadi belakangan ini, membuat kita bertanya balik tentang eksistensi pemerintah atas kehidupan masyrakat. Benarkah rakyat membutuhkan seorang pemimpin (leader) dalam menjalankan suatu negara? Dimana peran pemerintah dalam mengelola suatu negara (states), hingga menyebar Enigma  masyrakat ; good governance is less governing?

Merujuk pada UK/ODA 1993[2] (United Kingdom Overseas Development Administration) mengungkapkan bahwa Good Governance [3]ialah pemerintahan yang mengandung beberapa karakteristik penting, antara lain: Legitimasi dimana tiap keputusan yang diambil haruslah berupa suara rakyat (society) bukan pasar (market). Akuntabilitas keterbukaan dan kejelasan serta keterhubungan dengan media. Kompetensi dalam pembuatan tiap kebijakan yang efektif dalam tiap prosesnya, agar mencapai pelayanan publik yang efisien, dan Penghormatan terhadap hukum serta penegakkan Hak – hak asasi manusia (HAM). Belumlah suatu negara memangku gelar Good Governance tanpa keempat aspek  diatas. Maka jelas seperti apa pemerintah yang ideal dan menjadi cita – cita tiap bangsa dan negara, yakni mereka yang memang dalam menjalankan roda pemerintahannya tak melepas semua aspek penting, tak membalik ujung dan pangkal pembangunan. Rakyat tetap dijadikan perioritas utama dan titik pusat perputaran (sub sentral).

Belgia tanpa pemerintah

Pertama – tama penting untuk kita mengetahui bahwa belgia adalah salah satu negara yang menganut sistem kekerajaan (monarki[4]), yang berarti dalam sistem ketatanegaraannya pemegang kepala negara dan kepala pemerintah adalah dua orang berbeda. Demikian kewenangan yang dimiliki juga memiliki karakteristik tersendiri seperti hak prerogative kepala negara  (King) dalam penunjukkan menteri dan hak – hak lainnya yang tetap dalam kotak.

Belgia terletak di daratan Eropa dengan luas daerah 32.547 m2 dan jumlah populasi sekitar 10.431.477 dengan 3 bahasa utama: Belanda (60%), Perancis (37%), dan Jerman (1%). Dimana pada pertengahan 2010 hingga 2011 quarter 3 terjadi kekosongan pemerintah akibat dari penolakan hasil pemilu yang diselenggarakan. Memang demikian banyak permasalahan dalam politik negara, terutama dalam pengukuhan jati diri dari dalam etnis - etnis  negara yang dijadikan pusat dan ibu kota Eropa (UNI EROPA) ini.

Padahal jelas pentingnya pengukuhan jati diri suatu bangsa, sebagaimana disebutkan dalam metamor Baldwin bahwa “identitas ibarat kain yang menutup ketelanjangan diri:  bila demikian, lebih baik kain itu dikenakan longgar, sedikit seperti jubah dipadang pasir, yang masih bisa menyebabkan ketelanjangan itu dirasakan, dan kadang – kadang dapat ditilik.[5]”. karena memang heteroginitas saat ini membuat beberapa tuntutan baru ditengah universalitas yang sedang genjar. Terlebih ditengah globalisasi dunia dewasa ini. maka tak heran pula kita melihat penolakan yang terjadi dimana mereka menuntut pemersatu jati diri, yakni jati diri masyrakat Belgia bukan jati diri satu – dua etnis tertentu.

Peran pemerintah

Tanpa diduga memang, ditengah kekosongan pemerintah yang terjadi, nampaknya tak ada perubahan dalam perekonomian Belgia. Segala akses dan fasilitas umum masih berjalan seperti biasa. Layanan bus umum masih berjalan, ekspor obat, cokelat dan barang lainnya juga masih terus berjalan. Bahkan dalam tiga bulan pertama 2011, mereka berhasil mencapai target penerbitan obligasi. Demikian jika ditinjau dari pertumbuhan ekonomi, negara ini juga memberikan hasil yang baik, dimana selama 2010 awal hingga 2011 akhir pertumbuhan GDP – nya terus mengalami peningkatan yang baik, hal ini tentu tak lepas dari kondisi perekonomian internal yang mendukung
   Gambar 1: GDP growth Belgia[6]

 Secara mengejutkan juga siklus serupa terjadi di negara tetangga UK (United Kingdom). sebagai sesama negara monarki di daratan Eropa, pertumbuhan GDP menunjukkan hasil yang tak jauh berbeda dengan Belgia. Dengan kondisi pemerintahan yang utuh Malah cenderung menunjukkan trend yang sama

Gambar 2 : GDP growth UK

Demikian jika kita perhatikan kedua gambar secara seksama, memang dari rentang 2010 awal hingga 2011 akhir kedua negara menunjukkan pola pertumbuhan GDP yang serupa. Lantas apakah ada atau tidaknya kepala pemerintah tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi secara khusus atau kestabilan negara pada umumnya?

Perlu banyak penafsiran dalam menjawab pertanyaan tersebut, namun pertama mari kita tiliki ulang kondisi perekonomia Belgia pada masa itu. selain menjadi ibu kota Uni Eropa yang sudah barang tentu menjadi pusat perhatian, Belgia juga menggunakan Euro sebagai mata uangnya, yang secara otomatis tingkat nilai tukar (exchange rate) dari mata uang ini dijaga bersama oleh negara lain yang turut menggunakan mata uang yang sama.

Inflasi yang terjadi pada rentang waku itu juga dapat dikatakan relatif terkendali, sehingga tidak terlalu membebani daya beli masyrakat (real income), dengan tingkat antara 3% hingga 4% di sepanjang rentang yang berlaku

Gambar 3: tingkat inflasi Belgia

Kesemuanya dapat terjadi dikarenakan fasilitas – fasilitas public yang masih,  memadai, tingkat infrastruktur yang baik [7]dan efek dari beberpa kebijakan yang pernah dibuat sebelumnya. Mereka tak terlalu terkena dampak dari krisis global 2008 di USA, yang menjeramah parah ke daratan Eropa sekitar tahun 2010 hingga  2011, karena memang kondisi  ekonomi dan infrastruktur yang baik dan tak ada pemerintah yang mengambil kebijakan untuk turut terlibat lebih jauh dalam permasalahan tersebut.

Sekilas memang dalam jangka pendek tak ada pengaruh yang besar dari kekosongan pemerintah, karena mungkin Belgia masih dalam keadaan yang baik saat itu. Namun dalam jangka panjang, kekosongan kursi ini akan berdampak sangat besar. Bayangkan saja tingkat social security (pendidikan, kesehatan, perlindungan, keamanan dll) dan public goods yang dapat terus tereduksi tanpa adanya pemerintah, pengaturan peralihan eksternalitas positif dan negative serta berbagai macam kasus mencakup orang banyak. Karena memang dalam jangka panjang tangan – tangan pemerintah diperlukan untuk menjaga stabilitas negara.

Contoh kecil dalam penyediaan barang publik[8]: “seberapa banyak orang yang rela untuk membangun mercu suar seorang diri dan memberikan supply listrik tiap malam jika ternyata Mercu suar yang dia bangun digunakan oleh seluruh kapal yang lewat, atau seberapa banyak orang yang rela membangun sekolah dan rumah sakit gratis bagi si miskin, atau Membangun kembali jembatan rubuh, pengaspalan jalan dll?”. kita baru berbicara dalam penyediaan barang public, belum meranah ke penargetan tingkat inflasi, perjanjian internasional, kemajuan tekhnologi, MDG’s plane dan kebijakan – kebijakan lain yang menyangkut stabilitas negara. Disinilah letak penting peran pemerintah sesungguhnya

Kesimpulan

Memang dalam jangka pendek kekosongan pemerintah yang terjadi di Belgia tak menampakkan dampak yang signifikan terhadap kehidupan rakyatnya. Namun demikian jika kita menilik Belgia dalam jangka panjang kekosongan ini tentu tidak berjalan mulus seperti jangka pendek. Akan ada banyak ketidak adilan, pereduksian social security, dan ketidakjelasan Visi dan jati diri negara. Terkadang indepedensi suatu pemerintah diperlukan dalam menjaga stabilitas negara, dalam hal Ekonomi Indonesia masih tergolong beruntung karena memiliki pasal 33 UUD1945 ayat (1).
Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, adanya pemerintah dalam suatu negara adalah mutlak adanya. Pelaksanaan Good Governance seperti pada awal tulisan tentu menjadi criteria yang cukup untuk menjadikan rakyat puas dalam penemuan jati diri mereka. Serta tentu tak lupa tetap menjadikan rakyat sebagi titik pusat perputaran roda pemerintahan, apapun kebijakan yang akan diambil. Seperti yang pernah dikutipkan oleh Bung Hatta selaku Wakil Presiden pertama kita:
“Bagi kita, ra’jat itoe jang oetama, ra’jat oemoem jang mem­poenjai kedaulatan, kekuasaan (Souvereinteit). Karena ra’jat itoe jantoeng-hati Bangsa. Dan ra’jat itoelah jang men­djadi oekoeran tinggi rendah deradjat kita. Dengan ra’jat itoe kita akan naik dan dengan ra’jat kita akan toeroen. Hidoep atau matinya Indonesia Merdeka, semoeanja itoe bergan­toeng ke­pada semangat ra’jat. Pengandjoer-pengandjoer dan golong­an kaoem terpeladjar baroe ada berarti, kalau dibela­kangnja ada ra’jat jang sadar dan insjaf akan kedaulatan dirinja” (Bung Hatta, Daulat Ra’jat, 20 September 1931).




Prof. Dr. Sri-Edi Swasono adalah Guru Besar FE Universitas Indonesia dan Anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) periode 1999 – 2004  : Penggalan kompas, Rabu, 12 Oktober 2011
[2] Dijelaskan lebih lanjut bahwa UK/ODA tak membedakan good governance dan good government. Keduanya sama – sama merujuk pada aspek normative pemrintah untuk menyusun berbagai criteria yang bersifat politik hingga ekonomi.
[4] Dari web resmi US department of state : Terlampir pula data – data terkait belgia : http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/2874.htm
[5] Goenawan Muhammad : Indonesia/Proses dalam esai yang berjudul kain Baldwin, TEMPO, Jakarta 2011
[6] Baca juga http://www.tradingeconomics.com untuk info mengenai GDP/capita, annual growth rate, export serta data – data pendukung lainnya
[7] KOMPAS 31 maret 2012, baca juga http://internasional.kompas.com/read/2011/03/31/07345887/Belgia.Berfungsi.Tanpa.Pemerintah tentang pendapat para ahli mengenai Belgia dalam rentang waktu bersangkutan
[8] Michael parkin: Economics 9th, Chapter 17 on public goods and common resources,
“Public goods is a good that can be consumed simultaneously by everyone, and no one can be exluded from enjoying its benefits. National defense is best example”
[9] Melirik ulang Pasal 33 ayat (1) : perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan (Bold oleh saya)

Senin, 23 April 2012

“Koperasi dan Sebab Kegagalannya”


Sumber gambar:  jpmi.or.id/2010/07/20/2010-terdapat-
175-ribu-koperasi-di-indonesia

Pendahuluan
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”[1]Menyimak bunyi pasal 33 ayat 1 UUD 1945 tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial tersebut jelas tercermin bahwasanya kemakmuran bersamalah yang menjadi tujuan bersama, bukan kemakmuran satu atau dua orang. Dalam penjelasannya kemudian, koperasi diletakkan sebagai “soko guru” perekonomian nasional maupun integral seluruh tata perekonomian nasional, artinya pasal 33 sendiri telah meletakkan dan mengakui koperasi sebagai tulang punggung ekonomi nasional, pemilik peran penting dalam menumbuhkan ekonomi rakyat untuk mewujudkan ekonomi yang demokrasi, yakni ekonomi yang berdasar demokratis, kebersamaan, kekeluargaan dan keterbukaan
.

Didalam berbagai kesempatannya, Mohammad Hatta selaku tokoh perumus pasal tersebut  memberi pengakuan langsung akan paradigma diatas. “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar azas kekeluargaan. Azas kekeluargaan itu ialah koperasi!. perkataan UUD ini bukanlah hanya suatu pernyataan daripada ideal bangsa kita, tetapi juga suruhan untuk bekerja ke jurusan itu.”[2] Maka timbul secarik pertanyaan tentang koperasi, mengapa keberadaanya menjadi sangat vital dan penting bagi perekonomian Indonesia?

Koperasi sendiri merupakan lembaga sosial – ekonomi, dibentuk untuk menolong diri secara bersama – sama untuk pemberdayaan (self empowering)“dengan kata lain, menolong diri sendiri secara bersama – sama yang apabila diformalkan akan menjadi badan usaha bersama, yang lazim kita sebut sebagai koperasi[3]”. bukan tanpa alasan koperasi diangkat menjadi soko guru ekonomi nasional, karena memang koperasi memiliki spirit yang baik bagi kesejahteraan rakyat bersama. Seluruh kebaikan koperasi menjadi satu dalam “jatidiri”-nya, (definisi, nilai, prinsip) yakni pembeda badan usaha dengan koperasi. suatu pernyataan yang membuat koperasi menjadi koperasi. artinya tidaklah dikatakan koperasi yang benar jika tak terkandung “jatidiri koperasi” didalamnya

Didukung oleh ILO sebuah organisasi buruh internatiosonal yang sadar akan keberadaan kopersi, Jatidiri koperasi tertuang dan dipertegas kembali oleh UU 25 tahun 1992 dan ICA (international co-operative alliance). Dikatakan koperasi ialah “perkumpulan otonom dari orang – orang yang sukarela  dan memiliki tujuan bersama untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan kesejahteraan melalui badan usaha yang dimiliki bersama dan dikendalikan secara demokratis berdasarkan asas kekeluargaan”. Berisi tentang nilai[4] dan prinsip[5] dalam koperasi yang pada intinya menekankan bahwasanya koperasi yang baik ialah koperasi yang mementingkan semangat  gotong royong, kekeluargaan, dan keterbukaan. Dimana para anggotanya merupakan orang – orang yang sukarelah berkumpul demi kepentingan yang sama. Sehingga jelas mengapa koperasi menjadi penting untuk diberlakukan di Indonesia, koperasi dengan sendirinya mempersatukan rakyat – rakyat golongan menengah bawah dan atas untuk bersama bekerja, mengankat derajat para anggotanya, memberantas kemiskinan dan turut serta dalam memutar roda ekonomi nasional. Koperasi tak mengutamakan maksimum profit melainkan maksimum benefit dengan pengolahan SDA yang sesuai dengan kebutuhan sehingga tak merusak alam. Inilah letak perbedaan dasar antar koperasi dan badan usaha. Koperasi mengutamakan kepentingan “anggotanya” sedang badan usaha lainnya mengutamakan kepentingan “modal”

Koperasi di Indonesia
Disadari atau tidak, koperasi Indonesia memiliki tanda Tanya besar didepan. mengapa koperasi di Indonesia sukar untuk tumbuh, padahal upaya pemerintah dalam memberdayakannya tidak pernah habis? Atau mengapa koperasi di Indonesia sekilas “jalan ditempat” mengingat Indonesia memiliki mentri koperasinya sendiri, berbanding terbalik dengan koperasi luar negeri yang tanpa mentri khususnya dapat berdiri dan lebih tegar?

Ini semua tak lepas dari paradigma yang memandang koperasi sebagai wadah badan usaha kecil, dipandang sebelah mata, dipojokkan dan dipisahkan tersendiri dari perekonomian. Atau karena kegagalan pemerintah menciptakan iklim yang baik? Diakui atau tidak, kesemuanya ini tak lepas dari substansi koperasi yang berhubungan dengan spirit koperasi. jadi, bila koperasi dianggap kecil dan kumpulan orang lemah terjadi karena adanya pola berpikir yang demikian. Koperasi yang harusnya menjadi integral ekonomi nasional jangan malah dieksklusifkan dan terpojok sebagai badan usaha khusus, seolah – olah meng-“anak bawang”-kan koperasi. Ini jelas penghambat terbesar bagi koperasi itu sendiri, pemerintah seolah sibuk menonjolkan pembangunan UKM. Padahal jelas fakta pembangunan UKM tanpa payung koperasi ibarat menyebar bibit – bibit kapitalis pada rakyat[6], bibit yang mengutamakan kepentingan individualism buka kepentingan bersama. Ada sesuatu yang salah, sesuatu yang membuat koperasi tak berjalan di Indonesia. koperasi yang harusnya menjadi wadah pengembangan UKM, itu kalau kita mau taat asas.

Koperasi Indonesia harusnya tetap berada dalam koridor jatidiri-nya, koperasi yang menjadi soko guru dan tetap mempertahankan nilai serta prinsip – prinsipnya. Ambil contoh koperasi pekerja “Mondragon” di spanyol, koperasi ini memiliki anggota sebanyak 62.764 dan mengelola 264 perusahaan. Koperasi ini tetap melakukan anggotanya sebagai pemilik dan pelaku utama pekerjanya, memiliki kestrukturan yang baik dan jelas antar pengurusnya, dan tetap menjaga jatidiri koperasinya. Anggota juga tetap diberikan hak suara (one man one vote) dan diberi kesempatan untuk berpatisipasi dan menjadi ahli yang professional. Bahkan sebagian hasil SHU digunakan untuk kegiatan – kegiatan bermanfaat seperti pemberian modal dan pendidikan bagi anggotanya. Bukankah ini suatu tamparan keras bagi kita? Mengapa kita tetap jalan ditempat dan tak bisa bergerak maju seperti Mondragon?



[1] Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 bab XIV perihal “perokonomian nasional dan kesejahteraan sosial”
[2] Orasi Mohammad Hatta Juli 1951
[3] Sri-Edi Swasono : Koperasi dan Kooperativisme, Jakarta 2 november 2011
[4] ICA dan UU NO. 25 tahun 1992 tentang nilai koperasi: Self help, tanggung jawab bersama, persamaan, pemerataan, solidaritas, kejujuran, openness, perhatian sesama
[5] I CA dan UU NO. 25 tahun 1992: Anggota sukarela, demokrasi, organisasi, pendidikan, kerjasama antar koperasi, otonomi dan kemasyrakatan
[6] Sri-Edi Swasono : Koperasi dan Kooperativisme, Jakarta 2 november 2011



Minggu, 22 April 2012

“Pembangunan dan Manuver Lembaga Internasional”


Sumber Gambar: watatita.wordpress.com/2011/02/08garuda-pancasila-
sibuk-bertengger-tetapi-jarang-yang-memperhatikan/
 “Bagi kita, ra’jat itoe jang oetama, ra’jat oemoem jang mem­poenjai kedaulatan, kekuasaan (Souvereinteit). Karena ra’jat itoe jantoeng-hati Bangsa. Dan ra’jat itoelah jang men­djadi oekoeran tinggi rendah deradjat kita. Dengan ra’jat itoe kita akan naik dan dengan ra’jat kita akan toeroen. Hidoep atau matinya Indonesia Merdeka, semoeanja itoe bergan­toeng ke­pada semangat ra’jat. Pengandjoer-pengandjoer dan golong­an kaoem terpeladjar baroe ada berarti, kalau dibela­kangnja ada ra’jat jang sadar dan insjaf akan kedaulatan dirinja” (Bung Hatta, Daulat Ra’jat, 20 September 1931).
Menggali pemikiran Moehammad Hatta di awal tulisan mengingatkan kembali kita kepada impian perekonomian rakyat Indonesia yang tertuang dalam pasal 33 UUD 1945 tentang “kesejahteraan sosial”cita - cita  bangsa kita. Didalam ayat (1)-nya muncul sederet ulasan kata yang menarik perhatian untuk dapat dikupas lebih dalam, “bersama” dan “asas kekeluargaan”. Kalimat ini menjadi penting mengingat fakta inilah yang menjadi tujuan bangsa. Landasan segala pembangunan perekonomian negara kita, perekonomian yang menjadikan rakyat sebagai titik pusat perputarannya (sub sentral) bukan kebebasan pasar.

Refleksi perekonomian Indonesia
Didalam pasal 33 UUD 1945 juga tercermin perekenomian yang ingin diwujudkan oleh para pembangun negara (founding father)  kita bahwa perekonomian indonesia merupakan ekonomi yang disokong dan dikendalikan bersama oleh rakyat berdasar asas kekeluargaan. Dengan ini menjadi jelas apa yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk mewujudkan cita – cita tersebut, “fokus pada pembangunan dan pemberdayaan rakyat” sehingga rakyat mampu mandiri dan mengelola pembangunan bangsanya. Biarkan mereka berkembang menjadi orang – orang hebat yang mampu mengangkat derajat bangsa dan negaranya. Maka ketika rakyat telah mampu memutar roda perekonomian sendiri disaat itulah mereka memiliki kekuataan (power) untuk membangun bangsa. Sehingga pembangunan negara (states)  kita bukan pembangunan yang menyingkirkan rakyat, melainkan pembangunan yang mengikutsertakan mereka disampingnya. Pembangunan negara adalah derivate pembangunan rakyat

Maka ketika pemerintah membangun rakyatnya sama artinya dengan membangun negara. Pembangunan sikap, mental, pikiran, dan segala kebutuhan mereka akan mampu memberikan kekuatan bagi mereka untuk bersatu dan berkerja sama membangun bangsa. Sehingga “daulat rakyat” seperti tercantum dalam pasal 1 ayat (2) dapat terlaksana secara lebih nyata (real) dan terasa manfaatnya secara langsung. Pembangunan seperti inilah yang menjadi cita – cita Indonesia, pembangunan negara atas dasar kekeluargaan (brotherhood/ukhuwah) dan kebersamaan (mutualism) yang memajukan rakyat sebagai ujung tombaknya hingga mereka berhasil membuat pasar (market) yang ideal dan tak berat sebelah.

Sebagian orang setuju dengan pendapat ini dan sebagian lagi malah memandang rendah serta maju dengan semangat individualsm bersama globalisasi, mereka mengesampingkan kepentingan bersama dan menjadikan kepentingan individu sebagai prioritas utama. Pemutaran ujung dan pangkal pembangunan sering kali terjadi, rakyat tidak lagi menjadi prioritas utama, mereka seakan lebih fokus pada pembangunan modal (capital). Modal yang masuk seakan lebih penting dan berarti dibanding kesejahteraan rakyat. Akibatnya nyata, pembangunan negara ini tak lagi terlihat mengikutsertakan rakyat, mereka rakyat kecil yang tak mampu menjadi korban penggusuran pembangunan negara. Semangat kapitalisme kembali mengalahkan kebersamaan kita, para ahli ekonomi negeri seakan tak memperdulikan kesejahteraan rakyat lagi, maksimumisasi laba (profit) menjadi tujuan utama bukan manfaat (benefit) untuk kesejahteraan bersama.

Pembukaan kesempatan bagi investor asing secara lebar tanpa proses penyaringan juga turut serta mengambil andil atas pembangunan yang tak berimbang ini, tingkat GDP (gross domestic product) dan GNP (gross national product) negara kita terus mengalami kesenjangan[1]. Perbandingan (ratio) antar mereka tak lagi berimbang, GDP yang melibatkan pihak asing malah unggul dan memimpin. Bukankah ini dapat berarti kelengahan kultural bangsa secara massal? Haruskah kita rela pembangunan negeri ini diserahkan pada tangan-tangan asing dan membiarkan rakyat sebagai pemilik sebenarnya menyaksikan pembangunan di pojok sana? Maka disinilah letak relevansi jelas perbedaan  “pembangunan di Indonesia” dengan “pembangunan Indonesia” apakah kita menjadi tuan di negeri sendiri atau jongos globalisasi?[2]

Menjadi lucu ketika BUMN (badan usaha milik negara) sebagai cabang produksi penting negara penguasa hajat hidup orang banyak sudah mulai dilirik pihak asing. Sayang sifat kita yang justru kurang protetktif, “belum ditanya sudah ditawarkan” seakan asset – asset penting rakyat kita adalah barang yang dengan mudah diperjual belikan. Kasus nyata penjualan indosat ke perusahaan singapur, indosat sebagai salah satu bentuk kekuasaan angkasa bangsa kini menjadi milik asing. Kejadian – kejadian seperti ini harusnya menjadi sentilan keras bagi bangsa kita atas segala kelengahan yang tengah terjadi.

Lebih dari itu, ketika kejadian ini berlangsung secara berlarut – larut, globalisasi masuk dengan bebas dan harga (price) sudah mulai ditentukan oleh keseimbangan pasar (equilibrium market) bukan lagi keseimbangan rakyat, memicu timbulnya sesembahan baru bernama “daulat pasar”. [3]Daulat rakyat yang selama ini kita angkat dan di perjuangkan mulai digeser dan diambil alih kuasanya oleh pasar. Rakyat mulai kehilangan kekuatan, pasar tak lagi bersahabat. Mereka yang berada di bawah garis keseimbangan menjadi layak untuk diabaikan. Ini jelas bentuk pelemahan (disempowerment) rakyat.

Terlepas dari itu, negara sejatinya memiliki peran penting untuk lebih hati – hati menilai perjanjian internasional, dalam arti menyeleksi tingkat globalisasi yang masuk kedalam bangsanya. Jangan sampai globalisasi justru malah menyingkirkan rakyat dan menghancurkan keseimbangan yang ada. Negara bukan malah memberi peluang yang besar untuk kapitalisme masuk bersama globalisasi. Seperti pelaksanaan “asas konkordansi”[4] dan aturan peralihan pasal II UUD 1945 [5]sebagai derivate hukum belanda yang menjadi dasar KUHper (kitab undang – undang hukum perdata) dan KUHD (kitab undang – undang hukum dagang) kita yang seolah membuka lebar pintu kapitalisme masuk bersama globalisasi, mengapa mereka yang bersifat “turunan” itu malah justru mendominasi pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar kesejahteraan sosial. Karena memang globalisasi ibarat pedang bermata dua, negara harusnya memberikan protektif dan pembelajaran dalam hal menghadapi globalisasi. Bukan seperti sekarang, masyrakat dan kaum remaja khususnya malah asyik terbuai dengan globalisasi. “Mereka masih cenderung mengagumi globalisasi bukan bersiap menghadapinya” Nampak jelas masyrakat kita terjebak di kapsul pasar (individualism)  global yang salah. Mereka salah kaprah tentang arti globalisasi

Dengan demikian dapat kita susun masalah bersama, faktanya permasalahan kita fokus pada sejauh mana globalisasi mempengaruhi pembangunan kita? Sejauh apa perjanjian internasional turut serta dalam campur tangan pembangunan bangsa kita? Benarkah globalisasi datang bersama angket – angket liberalism (neoliberalism)? Pengotakan masalah seperti ini menjadi penting  untuk melihat nyata musuh kita. Jangan sampai lawan berhasil menyurutkan kredibilitas kita sebagai rakyat pemilik bangsa

Tiga lembaga raksasa
Di era akhir  abad 19 perang dunia ke II Amerika serikat muncul sebagai negara adidaya yang berhasil berdiri tegap ditengah segala kekacauan. Eropa, jepang, china dan negara lain   mengalami resesi akibat kehilangan emas dalam perang dan sebab – sebab lain yang menyertainya. Hanya Amerika sebagai negara pemenang perang yang cukup kuat berdiri dan menjadi tumpuan ekonomi dunia. Mengambil kesempatan ini, Amerika yang memiliki cadangan emas dunia lebih dari 50% membuat konfrensi moneter persatuan bangsa – bangsa (PBB) di “Bretton Woods” antara 1 juli 1944 – 22 juli 1944. Pertemuan yang diikuti 44 negara ini akhirnya menetapkan pembentukan dua lembaga keuangan internasional, IMF (international monetary fund) badan pemberi pinjaman khusus dan IBRD (international bank for reconstruction development) yang menjadi cikal bakal beridirnya WB (world bank). Baru kemudian WTO (world trade organization) sebagai organisasi yang secara khusus mengatur perdagangan antar negara dibentuk pada 1 Januari 1995 sebagai pendukung  perjanjian Bretton Woods.

Sudah barang tentu ketiga lembaga ini memiliki peranan masing – masing dalam implementasinya di dunia internasional. IMF contohnya, sebagai negara pemberi pinjaman dana mereka juga diwajibkan untuk melakukan pemantauan ekonomi secara khusus dan memberikan pelatihan pada anggotanya. World Bank sebagai lembaga keuangan internasional penyimpan dana – dana umum dan WTO selain sebagai badan pengatur regulasi [6](policy) perdagangan antar negara termasuk didalamnya free trade yang bersifat global dan mencakup seluruh negara bagian anggotanya juga diwajibkan membantu para produsen barang (good’s) dan jasa (service) ekportir, importer dalam kegiatan perdagangan nantinya. Sekilas lembaga – lembaga ini memang tampak seperti lembaga internasional biasa.

Indonesia sendiri mulai terdaftar di ketiga lembaga tersebut setelah pengajuan pinjaman dana pada 1953, yang kemudian sebagai tindak lanjutnya disahkan dengan “Undang – undang no. 5 tahun 1954” pada 13 januari 1954. Maka sesuai dengan nama yang diberikan, IMF memiliki kewajiban memberikan pinjaman [7]dana  pada para anggotanya, termasuk Indonesia. Indonesia yang pada saat itu terbayang - bayang impian besar pembangunan infrastruktur seperti pembuatan jalan tol, bendungan, gedung – gedung mewah, pelabuhan, lapangan pacu pesawat dan berbagai mimpi indah lainnya termasuk penyediaan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan bagi rakyatnya, mulai terbawa hasrat peralihan negara agraris ke negara industriliasasi secara instan, dan sebagai negara yang baru lepas dari penjajahan nekat melakukan pinjaman  dana bank luar dengan harapan mampu mengembalikan pinjaman dari hasil penjualan SDA (sumber daya alam) – nya.

Memang tak bisa dipungkiri, beberapa pembangunan infrastruktur kota besar kita didukung oleh tiga lembaga besar ini, besarnya pinjaman dana yang diberikan pada kita membantu pembangunan negara ini secara cepat dan instan, namun ibarat “gali lubang tutup lubang” permasalahan ditutup dengan permasalahan. Dengan peminjaman dana secara berlebih pada IMF Indonesia kembali mengalami resesi dan terlilit hutang dengan jumlah bunga yang tak sedikit. Menjadi lebih buruk lagi ketika akhirnya Indonesia menjadi boneka Washington, dengan total kewajiban yang belum kita lunasi mereka tentu dengan semena – mena merasa memiliki hak untuk turut serta dalam pengelolaan negara kita. Lihat saja dengan fakta pembuatan undang – undang (regulation) yang memudahkan pihak mereka masuk untuk mengambil keuntungan dari negeri kita yang kaya akan sumber daya alam . Mulai nampak tujuan lembaga ini.

Ternyata Indonesia tak sendiri, banyak negara – negara berkembang lainnya turut megalami hal serupa. Terlebih ketika United States (US) mengalami inflasi pada 1979, dimana Paul Volcker sebagai kepala Federal Reserve mengambil kebijakan financial untuk menaikkan tingkat suku bunga dan membuat malapetaka bagi negara – negara peminjam pundi dollar[8]. Bunga hutang Mexico melonjak dengan fantastis, dari 2.3 milliar USD naik menjadi 6.1 milliar USD, hampir tiga kali lipatnya. Harga – harga pangan di negara Afrika pun tak luput dari santapan kebijakan brutal ini. Barang ekspor utama mereka mulai rontok di pasar internasional, kondisi ini membuat  mereka mustahil mengembalikan bunga dan hutang yang mereka pinjam. Argentina sebagai salah satu negara penghasil daging waktu itu juga ikut terkena imbas pelumpuhan barang komoditas di pasar 1980. Harga daging produksi mereka jatuh dari 2.25/kg 1980 ke level 1.6/kg pada akhir 1981. Lantas bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara penalang pundi dolar juga sudah tentu terkena imbas global ini. Semakin tenggelam bersama bunga dan lilitan hutang.

Menanggapi imbas krisis global (global crisis) ini, pihak US menginisiasi kebiijakan baru. Kebijakan kali ini dipelopori oleh James Baker, secretary of the treasury Amerika Serikat, yang dikemudian hari lazim didengar sebagai “Washington consensus” [9]sebagai standar reformasi bagi negara berkembang. Jelas dan nyata upaya lembaga ini dalam penyebaran paham liberal serta pelumpuhan wewenang negara. Negara tak lagi diberikan wewenang penuh untuk mengatur dan memberikan batasan dibidang ekonomi bagi rakyatnya, segala sesuatu akan dikembalikan dan diatur oleh mekanisme pasar (market mechanism). Pasar yang akan menentukan keseimbangan harga dan tingkat bunga. Belum lagi aturan tentang penjualan asset – asset BUMN pada pihak asing (privatization) yang semakin membuka lebar peluang pengambilan alih asset kekayaan kita. Hal – hal ini dapat kita artikan sebagai pemberian wewenang seluas – luasnya kepada pasar untuk berperan dan mendukung sikap individual dah globalisasi kompetitif untuk terus tumbuh. Pasarlah yang memiliki hak untuk menentukan segala halnya, hingga orang kembali fokus pada pemberdayaan modal untuk bersahabat dengan pasar. Daulat pasar memegang kendali penuh pemerintahan kita.

Dengan demikian kembali menjadi jelas kondisi yang terjadi di negara kita. Mengapa daulat pasar dengan kuatnya mengalahkan daulat rakyat. Mengapa pembangunan modal menjadi lebih penting ketimbang pembangunan rakyat. Mengapa asset – asset penting kita mulai berpindah tangan ke negara lain, atau mengapa pembangunan kita seakan tak peduli pada kesejahteraan rakyat bersama?. Maka dengan imbas Washington Consensus, globalization dan free trade WTO dengan prinsip Beggar Thy-Neighbor[10]-nya dapat kita simpulkan bersama, gerakan “Neoliberalism sudah mulai merambah Indonesia”.

Mendesain ulang globalisasi
Dari pembeberan adagium diatas kita ketahui dasar penyebar Neoliberalisme adalah IMF, WTO, dan juga World Bank, dengan beberapa agenda pelaksanaan Neoliberal yang tertuang pada Washington consensus menjadi titik tolak ukur keberhasilan (goals) mereka. Maka pantaslah jika tiga lembaga besar ini disebut sebagai The Unholy Trinity[11]. Indonesia lantas tak bisa bisa diam dan pasrah begitu saja. Diperlukan perbaikan – perbaikan diberbagai lini untuk memproteksi diri dari paham – paham semacam ini. Perlu diingat bahwa berdasar pasal 33 UUD 1945 kita adalah penganut paham “kebersamaan”. Pembangunan negeri ini tak bisa berdasarkan satu atau dua orang saja, keseluruhan sistem rakyat dan pemerintahlah yang harus ikut serta dalam andil pembangunan bangsa.

Oleh karenanya dirasa perlu bagi pemerintah untuk mendesain ulang globalisasi, mendesain  dalam arti berhati – hati menandatangani tiap persetujuan internasional, dan hendaknya mulai  menyusun strategi internasional jangka panjang. Jangan sampai globalisasi yang masuk ke Indonesia malah merugikan dan menghancurkan bangsa ini. Rakyat dan negara harus bisa bebas dari ketergantungan asing. “Mandiri” menjadi kunci sukses keberhasilan ini. Pemerintah hendaknya kembali fokus pada tujuan utama, fokus pada pembangunan rakyat (sandang, pangan papan, pendidikan, kesehatan dan segala kebutuhan lainnya) dengan cepat dan tepat.

Tidak salah karena rakyat yang kuat akan mampu untuk bersama secara mandiri membangun bangsanya. Dan pada akhirnya akan berhasil membentuk keseimbangan pasarnya sendiri yang sesuai dan tak berat sebelah. Maka ketika globalisasi datang menghampiri dengan iming – imingnya yang menggiurkan, rakyat bersama sudah dalam kondisi siap menghadapi globalisasi dan tak akan mudah terpedaya. Hingga rakyat dan negara mampu membentuk globalisasi kompetitif menjadi “globalisasi yang adil dan terkandali” yakni globalisasi yang tak mengenyampingkan rakyat, mengutamakan kepentingan nasional dan tanpa mengabaikan tanggung jawab global.




[2] Sri-Edi Swasono : Indonesia is not for sale
 Kompas 4 november 2010
[3] Bung hatta bapak kedaulatan rakyat bab 53.
Oleh Sri-Edi Swasono : satu abad bung hatta, kedaulatan rakyat dasar martabat bangsa
[4] Asas yang menyatakan orang dari golongan tertentu mengikuti hukum yang sama disuatu negara berbeda
[5]  Aturan peralihan Pasal II: Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
[6] Lihat juga syarat dan perjanjian yang telah disepakati Indonesia: http://www.deptan.go.id/kln/berita/wto/ttg-wto.htm
[7] Lihat juga peran lainnya secara lebih detail : Jeremmy clift, International mutual fund, Washinton DC 2001
[8] www.loahmutuk.org, timor post 4 desember 2009: terlampir juga data – data mexico, argentina dan penyebab krisis global
[9]  http://www.iie.com/publications/papers/paper.cfm?researchid=486 Dijelaskan lebih lanjut Washington consensus oleh John Williamson  dalam Latin American Adjustment: How Much Has Happened?1990 di Chp 2 sebagai : (1) fiscal deficit, (2) public expenditure priorities, (3) tax reform, (4) interest rate by market, (5) competitive exchange rate, (6) liberalization trade policy, (7) foreign direct investment by debt equity swaps (8) privatization, (9) deregulation for competitive market, (10) property right
[10] Prinsip yang menyatakan :kebijakan ekonomi suatu negara untuk memperbaiki permasalahannya dengan memberikan efek negative pada perekonomian negara sekitarnya
[11] Richat peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO 2003.
it shows how neoliberalism hijacked the IMF, World Bank and WTO in relation to their global financial, development and trade management roles.


INDIKATOR KEMISKINAN


Sumber gambar :  development.web.id/standard-
kemiskinan-yang-tidak-masuk-akal.html
Kemiskinan menjadi salah satu indicator pembangunan sebuah negara, sukses atau tidaknya sebuah program pembangunan pemerintah untuk membangun negara dapat  dinilai dari seberapa banyak masyrakat yang selamat dari jeratan “garis kemiskinan”.  BPS (Badan Pusat Statistik) sendiri sudah mengikuti kode etik PBB dalam menyusun laporan statistic yang ada di Indonesia, termasuk kemiskinan.

Oleh karenanya, disadari salah satu aspek penting dalam menanggulangi kemiskinan adalah tersedianya data kemiskinan yang tepat itu sendiri. Karena dengan data yang akurat, pemerintah tentu dapat dengan lebih leluasa untuk mengambil dan menentukan tiap kebijakan yang akan berlaku didaerahnya, dan kebijakan kemisikinan salah satunya. Membandingkan data kemiskinan dari waktu kewaktu, daerah satu dan daerah lainnya juga tak luput dari aspek penting dalam menentukan target untuk memperbaiki kualitas hidup mereka.

Diluar dari itu, “garis kemiskinan” masing – masing daerah memiliki standar yang berbeda - beda. Ini dikarenakan tingkat pemenuhan kebutuhan pokok  (basic need approach ) yang dijadikan standar pengukuran utama berbeda pula ditiap daerahnya. Ini pula jawaban mengapa standarasisasi kemiskinan “kota” berbeda  dengan “desa”.

 Kemiskinan bukan hanya masalah persentasi dan jumlahnya, akan tetapi juga memikirkan tingkat keparahan dan “kedalaman”-nya (P). artinya kemiskinan tak hanya memikirkan pengurangan jumlahnya, namun juga mengurangi tingkat keparahannya sehingga kulaitas dan standar masyrakat itu sendiri terus mengalami peningkatan.

Jika kita melihat data statistic tingkat kemiskinan serta tingkat kedalamnya, dapat kita lihat kenaikan dan penurunan data. Hal ini sesuai dengan basic need yang menjadi standar pengukuran kita, yakni seberapa besar daya beli masyrakat terhadap bahan pokoknya (beras, gula pasir, telur, minyak tanah, minyak kelapa, mie instan dll). Contohnya pada September 2006, tingkat kemiskinan meningkat sebesar 3,95  juta orang artinya ada transfer posisi penduduk miskin. Ini disebabkan bergesernya garis kemiskinan yang semula sekitar Rp. 129.000 menjadi sekitar 153.000 (18,39%).

Kesemuanya ini tak lepas dari naiknya inflasi (17,95%) ditahun tersebut. Kenaikan harga beras, minyak tanah, telur dan mie instan juga turut mendapat andil dalam masalah ini. Intinya kebutuhan pokok yang menjadi standar garis kemiskinan naik sehingga masyrakat kehilangan daya belinya dan jatuh kebawah garis kemiskinan. Berbanding terbalik dengan data di maret tahun 2009 dimana angka kemiskinan turun 2,43 juta. Hal ini juga tak lepas dari inflasi (7,92%) yang relative lebih rendah dan stabil serta harga komidi pangan pokok (beras nasional) yang memiliki tingkat kecenderungan baik akibat panen raya ditahun tersebut

Kesimpulannya kemiskinan merupakan suatu kondisi dimana orang tak mampu memenuhi kebutuhan hak dasarnya untuk menjalankan dan mempertahankan kehidupan yang bermatabat. Kemiskinan bisa diukur melalui “garis kemiskinan” dan “tingkat kedalamana kemiskinan”. Jadi kesemuanya ini tergnatung dari seberapa mampu seseorang memenuhi kebutuhan pokoknya seperti beras, minyak, telur, mie instant dll. Garis kemiskinan juga turut terpengaruh oleh tingkat inflasi, oleh karenanya jumlah orang miskin juga akan sangat tergantung pada tingkat inflasi di tahun bersangkutan. Jadi tingkat kemiskinan ditahun depan akan bergantung pada tingkat inflasi serta harga bahan  pokok (basic need) dimasa yang akan datang. Sehingga jika pemerintah ingin mengurangi tingkat kemiskinan bisa dengan cara menjaga tingkat inflasi, memastikan kestabilan harga bahan pokok, menjamin ketersediaanya sehingga pada akhirnya garis kemiskinan nasional dapat turun dan jumlah kemiskinanpun akan otomatis turun karena terjadi transfer kemiskinan